Rabu, 29 Juni 2016

A Dead Princess

---

Aku menelusuri jalan setapak kota yang dingin. Berharap ada secercah cahaya yang keluar dari tiap-tiap jendelanya yang hangat, berharap tikus pun mau berbagi rotinya. Aku bukan berasal dari sini, dan yang aku temukan disini bukan keramahan seperti yang ku gambarkan dalam imajinasiku beberapa hari yang lalu. Kota ini tampak sepi, dua hari, tiga hari, hanya awan mendung yang menghiasi langit di atas kepala ku. Toko roti memajang tulisan tutup di etalasenya. Semua orang berpakaian abu-abu tua, dari mulai bangsawan hingga gelandangan di pojokan jalanan. Bahkan ibu-ibu muda dari kaum atas pun mengenakan hairbonet nya untuk merapikan rambut mereka. Tetua desa mengenakan jas kotor abu-abu, kala hari itu bersinar. Seorang pemain biola di tepian jalanan yang dingin mengantarkan melodi yang menyayat hati. Ia seakan dapat mendengar isi hati kami semua dan membungkusnya dalam sebuah lagu yang syahdu. 

Hari itu putri kesayangan warga desa ini mencapai titik kritisnya, Sejak beberapa hari yang lalu mereka semua telah menunjukkan rasa penyesalannya dalam balutan kain lusuh abu-abu. Tidak ada yang absen dalam balutan kain itu. Tak terkecuali kucing-kucing liar yang menghangatkan diri di depan perapian. Semua makhluk menyayangi sang putri. Sang putri yang lemah dan dirindukan. Ia pun sendiri tak tau, barang beberapa hari lagi sendu ini akan berakhir, semua orang akan melupakannya dan dia hanya akan tertulis dalam buku kenangan pemimpin desa. Ia tak tau apakah seorang pangeran akan datang menciumnya, ataukah malaikat maut yang akan menjemputnya. Ia bahkan tak tau apakah toko daging di depan sana akan menutup tokonya apabila ia meninggal besok. Tidak, tentu saja ia tak berpikir demikian. Dalam pikirannya hanya satu, "Bagaimana aku keluar dari mimpi buruk ini", karena sesungguhnya ia hanya tidur dalam mimpi buruk yang sangat panjang.

Aku menatap bulan yang kemudian bersinar di atas langit desa ini. Sinar bulan yang menyinari istana seakan membentuk tangga menuju khayangan, tempat para dewi bercengkrama. Maukah kau mencapainya, wahai putri? Maukah kau mengulurkan tanganmu saat dewi kematian menjemputmu? Betapa siapkah kau meninggalkan rakyat yang mencintaimu, lahir dan batin? Siapkah kau meninggalkan aku, wahai putri yang dicintai seluruh umat?

Aku biarkan wajahku yang kusam ini diterpa angin. Menerbangkan jerami dari rambutku yang berisikan doa-doa yang khidmat untuk sang putri. Berpasrah ditiup angin, agar sampai pada telinga padanya yang anggun. Betapa aku tidak mampu membayangkan akan seperti apa senyumnya jika mendengar suaraku di telinganya. Betapa aku tidak mampu membayangkan akan seperti apa tawanya jika mendengar ceritaku di hadapannya. Betapa aku tidak mampu membayangkan dirinya akan sehat seperti sedia kala. Aku sungguh tak sanggup, berapa kali pun aku bertanya pada diriku sendiri.

Sang putri tersenyum! Sang putri tertawa! Sang putri melompat kegirangan! Sang putri memeluk jiwaku untuk sejenak, menghangatkan jiwa yang kesepian ini. Ia terbang kesana kemari menebarkan senyumnya pada dunia. Tanpa kulihat air mata di sisi pipinya yang putih bersih, Ia mencium dahiku sebentar, kemudian tersenyum

"Kaulah malaikatku, wahai pemuda. " 

Aku menggenggam tangannya kemudian menariknya dengan lembut menuju sinar bulan, menyisakan senyum pada wajah sang putri dan menyisakan tangis pada mata yang ditinggalkan.

---

Inspired by : Pavane pour Une Infante Defunte by M. Ravel

Minggu, 13 Desember 2015

Mother's Tears

Dunia sudah berubah.  Sejak pemerintahan diambil alih oleh para robot, manusia hanya bisa menggunakan robot sebagai alat untuk kehidupan.  Robot mengambil alih dunia, dan mengatur kehidupan kita semua.  Kami semua bergerak tanpa emosi, bahkan hingga kemarin, hari dimana aku mulai mengetik cerita ini.  Robot-robot itu berkata, emosi adalah yang menyebabkan kehancuran dunia, mulai dari perang dunia 1 hingga zaman terorisme.  Pada tubuh setiap dari kami, sebuah chip ditanam hanya untuk mengawasi emosi kami.  Setiap kali emosi diluapkan, semakin berkurang pula usia kami.  Jadi kami semua hanya menjalani hidup tanpa ada luapan perasaan.  Termasuk aku dan ibuku.
Aku baru saja terlahir di dunia ini 15 tahun yang lalu, tidak melalui rahim ibuku sendiri.  Ibu berkata, sejak usia kandungan 5 bulan, ia memindahkan tubuhku ke dalam tabung agar perkembangannya dapat terkontrol.  Rupanya hingga usia kandungannya 9 bulan, ibu tetap meletakkan ku disitu.  Ibu berkata ini teknologi terbaru dari robot, untuk menurunkan risiko kematian ibu dan aku, ketika aku dilahirkan.  Namun setelahnya ibu berkata tidak pernah menyusui diriku.  Aku dibiarkan minum dari selang kecil di pinggir kasur.  Ibu bilang ini untuk memudahkannya mengasuhku ketika ia bekerja.  Jadi ia juga meletakkan pengganti popok otomatis di dalam boks bayiku.  Aku merasa senang mengetahui fakta bahwa ibu mengurusku dengan baik, namun aku merasa ganjil.
Beberapa hari yang lalu aku pergi ke perpustakaan umum tua di desa.  Aku menemukan video-video arsip lama di dalamnya.  Aku mencoba memutar beberapa video namun sepertinya rusak, atau robot komputer ini menolak untuk menampilkannya.  Namun aku tetap mencoba memutar video ini, yang dengan menarik mencantumkan judul “Kehidupan pada Zaman Teknologi Awal”.  Akhirnya videonya dapat ku lihat, dengan sedikit perlakuan kasar pada komputer perpustakaan.
            Adegan pertama dari video ini menampilkan bagaimana kehidupan berjalan di kota-kota besar dunia.  New York, Tokyo, London dan lainnya.  Kerumunan orang berjalan menyeberangi jalanan dengan santainya, semua orang terlihat sibuk.  Adegan selanjutnya adalah bagaimana mereka bekerja di kantor, mengangkat telpon, mengetik dan sebagainya.  Dilanjutkan dengan adegan pulang kantor, hingga sampai ke rumah.  Di rumah yang mereka temukan adalah keluarga, yang menyambut hangat dengan pelukan dan senyuman.  Ah itu namanya senyuman yang sebenarnya.  Senyum yang aku lihat selama ini hanya senyum dari robot kepada manusia, tak pernah sebaliknya. Adegan ini terlihat mengesankan.  Aku menghentikan video ini untuk sementara.  Keluarga ini tengah tertawa dan tersenyum.  Apa ini yang namanya bahagia? 
            Aku menutup video ini, kemudian keluar dari perpustakaan.  Ketika tiba di lift, aku melihat bayanganku sendiri dalam cermin di dalam lift.  Aku menekan tombol 1, dari lantai 5.  Aku masih terpikir adegan tadi dimana semua anggota keluarga terlihat bahagia.  Aku kemudian mengalahkan rasa takutku pada robot dan mulai tersenyum.  Awalnya aku hanya menarik ujung bibirku dengan jari, namun kemudian senyum itu bertahan tanpa bantuan jari.  Aku senyum dan senyum, menikmati rasanya senyum itu.  Awalnya aneh, namun lama-lama aku jadi merasa terbebaskan.  
            Di rumah, aku bercerita pada mama soal pengalamanku barusan.  Aku sedang bercerita pada ibu tentang pengalamanku mencoba tersenyum.
"Berhenti. Apa kamu tak tau bahaya jika kamu menunjukkan emosi mu?" Tanya ibu.  Aku tak menjawab, hanya memalingkan wajahku.
"Kamu tau kan, menunjukkan emosi bisa mengantarkanmu pada kematian?" Tanya ibu lagi.  Aku tak menjawab lagi.
"SR15.  Aku tak perlu membentakmu agar kamu menjawabku kan?" Ibu mulai menaikkan nada suaranya
"Ibu panggillah aku dengan nama pemberianmu. "
"Tidak sebelum kau jawab aku."
"Ibu, aku hanya ingin terbebas dari dunia robot ini.  Aku ingin tersenyum dan tertawa, menangis dan marah, tidak seperti ini.  Aku harus menahan segala emosiku, aku bahkan ingin memelukmu, mencium pipimu yang hangat, tersenyum tiap kali kau pulang ke rumah dan lainnya.  That's all i want, mom."
Plakk.  Ibu menampar pipiku.  Aku terkejut kemudian mengelus pipiku.  Ibu tak pernah menamparku sama sekali.  Aku tersentak kemudian melihatnya menangis sambil bersimpuh.  Ibu menangis!
"Ibu. . ."
"Maafkan ibu, Sarah.  Ibu tak bisa membawa kita keluar dari kekejaman ini." 
"Tidak apa, ibu.  Aku baik baik saja."
"Tidak, kau pasti tersiksa dengan semua ini".  Aku mulai menangis, air mataku keluar.
"Kamu jangan menangis, Sarah.  Ibu tidak mau kamu pergi sekarang."
"Ibu, aku tidak peduli usia ku sendiri, aku ingin meluapkan emosi ini bersama ibu."                 
     Kemudian kami berpelukan, sambil terus menangis menumpahkan emosi yang bertahun-tahun kami pendam.  Selanjutnya aku dan ibu tertidur di sofa, hingga esok harinya.  Hari ini.  Dimana aku menyelesaikan cerita ini.  Pagi ini aku melihat ambulans dari jendela kamarku.  Entahlah, apabila aku dan ibu mati hari ini, setidaknya kami sempat merasakan indah meluapkan emosi.  Ah mungkin hanya ini yang bisa aku ceritakan.  Ibu telah memanggilku untuk menonton satu film komedi yang pernah kami tonton tanpa tawa, berarti kali ini dengan senyum dan tawa haha.  


Salam Sayang dari cicitmu di masa depan,




Sarah (Kode percobaan : SR15)