Minggu, 14 Desember 2014

D.S Al Fine


 Setelah sekian lama, akhirnya! Inspirasi untuk cerita ini datangnya jauh sebelum cerita ini diterbitkan.  Sekitar bulan Oktober, sepulangnya dari menonton konser chamber orchestra.  Disitu kebetulan temen gue ngisi acara, dia main piano trio dan gue mulai merangkai cerita dalam otak gue selama dia main.  Bukan expert dalam bidang musik, akhirnya gue googling soal istilah istilah musik dan ketemu satu istilah yang namanya Dal Segno Al Fine.  Maksud istilah ini adalah "mengulang satu bagian yang bertuliskan repeat kemudian menyelesaikan lagunya sampai tulisan Fine." Jadi cerita ini dibuat dengan kerangka D.S Al Fine.  Mengulang satu bagian cerita kemudian menyelesaikannya hingga tulisan Fine.  Kurang lebihnya sih gitu.  Segala kesalahan mohon maaf. Selamat membaca.
---
Aku berdiri dari tempat tidurku.  Lorong kamarku begitu terangnya.  Terdengar suara piano dari kamar ibu.  Aku masuk, kemudian terkejut.  Seorang berjas hitam memainkan sebuah lagu dengan lancarnya.  Aku mengintip dari balik pintu dan tampaknya ia menyadari keberadaanku.  Ibu tidak ada di kamarnya.
“Masuklah.  Aku hanya singgah sebentar disini.” Orang itu berucap
Aku terkejut, kemudian aku masuk ke dalam ruangan itu.  Aku tidak berani mendekat ke arah orang tersebut.  Orang tersebut kemudian mengelus elus piano ibu.  Tidak menampakkan sedikitpun wajahnya. 
“Mendekatlah, aku akan bermain piano untukmu.”
Tapi aku semakin takut.  Hingga akhirnya dia menolehkan sedikit wajahnya ke arahku.
“Tidak apa, jangan takut.”
Aku memberanikan diriku untuk mendekat.  Barulah ia kembali ke posisi semula dan mulai memainkan lagi piano ibu.  Ia merapikan posisi duduknya dan mulai bermain piano.  Sambil bermain ia menggerakkan kepala dan tubuhnya ke kanan dan ke kiri menikmati lagu yang ia mainkan sendiri..  Aku duduk di sebelahnya.  Ia terkejut dan bergeser. 
“Chopin’s Nocturne.  Aku akan mengajarkannya untukmu.  Tapi berjanjilah untuk memainkannya walau aku tidak ada.  Hafalkan ini, aku mohon.”
Aku yang tidak tau apa-apa hanya mengangguk kemudian mengikuti jemarinya bermain.   Aku mengikuti setiap lagu yang ia mainkan, menirunya dengan sempurna sehingga aku hampir lupa bahwa rambutku telah sampai menutupi mataku.  Permainan piano ku tidak seindah saat rambutku masih pendek.  Aku pun bangun dan melangkah ke arah pintu.
“Mau kemana? Bukankah kau senang bisa bermain piano? Jangan tinggalkan aku.”
“Aku mau potong rambutku.  Aku tidak bisa bermain baik dengan rambut seperti ini.”
“Kau akan baik-baik saja dengan rambut seperti itu.  Percayalah padaku.  Sudah sangat lama sejak kita bermain bersama.  Setelah ini kita akan bermain piano duet, aku berjanji.”
“Tidak, aku ingin memotong rambutku dulu.  Baru setelah itu aku kembali.  Aku berjanji.”
“Tapi jika kamu keluar dari pintu itu, kamu tidak akan bisa kembali kesini.  Jangan tinggalkan aku.”
“Perlihatkan wajahmu, yakinkan aku untuk tetap disini.”
“Aku tidak bisa!  Apakah kamu tidak percaya dengan cinta kita?”
“Tidak.  Aku ingin lihat wajahmu.”
“Tidak.  Jika kamu melihat wajahku sekarang, kau tidak akan mengingat cinta kita yang sempurna ini.”
Aku kemudian menghampirinya.  Memeluknya dari belakang.  Ia yang tak pernah tua seberapa menua nya aku.  Dan dia mencintaiku.  Pria yang misterius ini.
“Biarlah, aku mohon.  Perlihatkan wajahmu sekali saja.  Aku ingin tahu bagaimana rupa kekasihku ini.”
“Ingatlah cintaku, sesuatu yang dinikmati saat ini tidak akan kau ingat di masa depan nanti.”
“Aku lebih baik pergi kalau begitu..”
Aku melepaskan pelukanku dan berjalan menjauh ke arah pintu dan membukanya. 
“Jangan! Tutuplah pintu itu sejenak, aku akan memperlihatkan wajahku padamu, setelah itu pergilah!”
Aku menutup pintu itu dengan menyisakan sedikit cahaya dari luar pintu tersebut.  Bayangan lelaki ini dan pianonya mulai mengabur di mata ku. 
“Apakah aku masih terlihat jelas di mata mu? Itu efek pintu nya sayangku.  Pintu itu akan mengaburkan bayanganku terus menerus hingga aku tak terlihat lagi.  Tapi aku tak akan menipumu. 
Dia membuka topeng hitamnya, wajahnya bersinar sangat terangnya, mengalahkan cahaya dari luar pintu.  Ketika cahayanya meredup, aku baru bisa melihat wajahnya.  Wajahnya yang sangat menawan, tersenyum dan menangis menatapku.  Kemudian bayangan mengabur lagi.  Aku terjatuh dengan pintu yang masih terbuka sebagian. 
“Aku akan mengingat wajahmu.  Aku berjanji.”
Ia menghampiri diriku, memapahku dan menuntunku ke arah pintu kemudian tersenyum. 
“Aku akan mencintaimu, bahkan ketika aku tak tau bahwa aku pernah mengenalmu.”
Ia hanya bisa tersenyum lemah dan aku dibaringkan di depan pintu, dengan cahaya terang yang menyinariku.  Dia kembali ke dalam pintu, namun sebelum pintu tertutup, bayangannya telah memudar dan dia pun hilang.  Sampai jumpa.
 ---

 Aku mulai merasakan jemariku.  Kakiku, hingga ujung kukunya.  Lemah sekali.  Aku hampir saja hanya terbaring di padang rumput terang itu kalau saja aku tidak membuka mata.  Cahaya yang lebih redup menyala di atasku.  Aku menggerakkan jemariku.  Infus.  Aku di rumah sakit.  Ah aku sudah sampai di rumah sakit.  Mungkinkah semalam tubuhku dipindahkan ke rumah sakit?
Kepala ibu terbaring di tanganku.  Matanya sembab, terpejam entah sedari kapan ia menunggu diriku disini.  Aku masih terdiam dalam sepi, detik jam mengalir lancarnya di dinding seberang kasurku.  Pukul 01:00.  Aku tidak bisa tidur lagi.  Aku menatap jendela luar kamarku.  Seseorang menatapku sambil tersenyum ramah.  Seorang laki-laki.  Aku memperhatikan dia dengan seksama.  Bingung.  Namun ia malah tampak sedih, kemudian dia pergi.  Dia pasti salah seorang temanku, mungkin teman SD? Wajahnya tampak pernah ku kenal tapi aku tak begitu yakin.
Tiba-tiba ibu terbangun.  Ia melihatku dan aku melihatnya.  Kemudian aku memeluknya dengan tangan ber-infus ku.  Aku seperti sudah sangat lama meninggalkan ibu.  Aku begitu merindukannya hingga air mataku mengering.
"Kenapa kau ini, nak? Ibu pikir tidak separah itu."
Aku terdiam, kemudian melepaskan pelukanku.
"Eh! Siapa yang suruh lepas?" Ibu merangkulku kembali dalam pelukannya.
"Hehe...hehehehe" 
Kemudian aku dan ibu tertawa sampai subuh.

---

Dari tutur ibu aku baru tahu bahwa aku telah koma selama 4 hari dan aku tidak pernah dibawa dari padang rumput dan semacamnya. Berarti aku bermimpi.  Tapi rasanya sudah bertahun-tahun aku bersama laki-laki piano itu.  Hingga rambutku yang rimbun tumbuh menutupi mataku, berarti sudah sangat lama aku bersamanya.  Namun mengapa ia tak kunjung menua, dari rambutnya yang tak pernah memanjang.  Apakah ia makhluk yang hidup dalam mimpi? Aku mencoba mengingat wajahnya.  Namun sekeras apapun aku berpikir, kepala ku malah menjadi pening dan terpaksa aku harus tidur kembali.  Berhari-hari aku mencoba tidur dan menemuinya lagi.  Namun gagal.  Hanya hitam, aku tertidur dengan pulasnya.  Awalnya tak kutemukan apa-apa dalam mimpiku.  Kemudian beberapa hari kemudian setelah aku menjalani operasi perdana ku, aku kembali bermimpi.


---

"Selamat datang kembali, anakku."
"Apa aku di surga?"
"Tentu tidak, kau hanya masuk ke dalam dunia tidur panjangmu, nak." Aku kemudian mengangguk dan menatap laki-laki paruh baya ini.  Ia tak mengenakan topeng seperti laki-laki piano sebelumnya.
"Jangan begitu, aku memang tidak ingin mengenakan topeng." Dia membaca pikiranku!
"..." Aku hanya bisa terdiam dengan panik
"Jangan takut, aku tak akan membacanya sekarang.  Katakan keinginanmu, anakku." 
"Aku ingin tahu, dimana kekasihku pemain piano itu?"
Laki-laki ini menghela nafas sejenak.  Wajahnya tampak sedih dan muram.
"Apakah dia itu anakmu?"
"Ah, tentu saja bukan! Dia adalah seseorang yang kau cintai, anakku.  Percayalah padaku, kau butuh pengorbanan yang berat untuk bertemu dengannya."
"Pengorbanan apa itu? Katakan padaku, akan ku laksanakan segera!" Ia menggeleng pasrah.
"Hanya kau yang tau pengorbanan apa yang harus dijalani untuk bertemu dengannya.  Percayalah pada cinta dalam hatimu, anakku."
Aku terduduk lesu, di lantai putih yang dingin itu.
"Aku merindukannya..."
Dia hanya menatapku sedih.
"Dia akan datang ketika kau tak mengharapkannya."
"Tapi aku..."
"Kembalilah kepada ibumu, anakku.  Aku tak akan segan menasihatimu lagi jika kau kembali kesini." Katanya sambil menggelengkan kepala dan tersenyum.
"Hehe.." Aku tersenyum kemudian menuju pintu yang sama yang membawaku ke padang rumput.
"Oh!" Aku berhenti sejenak kemudian berbalik 
"Ya?"
"Siapa namamu?"
"Namaku Maurice."
"Apakah aku boleh menulis namamu dalam hatiku? Agar aku tidak melupakanmu.  Siapa tahu aku akan kembali lagi ke dunia tidur panjang ini hehehe." 
"Kau bisa jika kau mau, nak."
"Jadi sebenarnya aku bisa mengingat nama dan wajah dari kekasihku pemain piano itu?"
"Well, that's clear enough " 
Aku menghela nafas sedih.  Itu artinya kekasih ku tidak ingin aku mengingatnya.  Padahal aku bisa jika aku mau.  Mengapa begitu? Mungkinkah ia akan muncul kembali?
"Hey! Pulanglah!" Maurice berteriak padaku.
"Ya!! Sampai jumpa!"
Kemudian aku bergegas membuka pintu dan menuju padang rumput yang membuatku mengantuk dan tertidur di atas rerumputan.  Dan kembali terbangun di atas kasur yang empuk.  Ibu tengah menggenggam tanganku erat.  Kali ini alat bantu nafas dipasang di atas hidungku.

---

Ibu menatapku lemah ketika kemudian aku bangun dan tersenyum padanya.  Ia terlihat sangat lelah menjaga ku semalaman.  Ketika aku bertanya berapa lama aku pingsan, ibu menggeleng sedih dan memberiku kode dengan bahasa isyarat.  
Tujuh hari.  Lebih lama dari biasanya.  Dokter bilang kepada ibu bahwa masa penyembuhan organ tubuhku terus meningkat dan luka operasi akan segera membaik.  Namun mengapa aku masih pingsan, dokter hanya mengangkat bahu dan berkata "Hanya Tuhan yang tahu." dan begitulah kenapa ibu menatapku lemah.  Hampir putus asa.  Tapi ibu tetaplah ibuku.  Aku kemudian makan beberapa suap bubur dan kemudian ibu tertidur.  Dalam hati aku berharap untuk dapat segera bertemu kekasih piano ku lagi.


---

Hari ketiga setelah operasi pertamaku. Hari ketiga sejak aku merindukan kekasihku itu. Aku teringat sesuatu. Saat itu ibu sedang di kamar mandi. 

"Bu! Apa ibu mengenal seseorang bernama Maurice? "
"Siapa??"
"Maurice buuu."
"Sebentar, sebentar!"
Kemudian ibu keluar dari kamar mandi dan mengeringkan tangannya. Siapa namanya coba sekali lagi? Ia duduk di sebelahku dan menuangkan minum untukku.
"Maurice. Apa ibu mengenalnya?"
Ibu terkejut. Ia memandangku dengan bingung. 
"Dari mana kau tau nama itu?"
"Dari mimpiku. Seseorang bernama Maurice menemuiku."
Ibu terduduk lemas. Wajahnya terlihat gelisah.  Berkali kali ia menghembuskan nafas berat.
"Ibu tidak apa apa?"
Ibu menatapku bahagia, ia mengelus rambutku.
"Maurice itu nama kecil almarhum ayahmu nak. Dulu ibu pertama kali bertemu dengannya dengan nama Maurice." Kemudian setitik air muncul di tepian mata ibu.  Jadi aku  baru saja bertemu almarhum ayahku. Di surga kah? Pantas saja aku disuruhnya kembali ke dunia nyata.
---

"Hey" Aku membuka mataku perlahan
"Hey" Aku masih berusaha menyadarkan penglihatanku
"Hey, gadis cantik." Aku berusaha menggerakkan tubuhku namun tak ada yang bergerak selain mata dan mulutku.
"Aku merindukanmu." Aku terhenyak.  Suara yang kukenal.
"Sangat merindukanmu. kau tau." Suara yang tadi ada di punggungku, berpindah ke depan mataku.  Ia menampakkan dirinya di depanku.  Tersenyum.  Aku tidak bisa berkata-kata, air mataku mengalir tanpa aku sempat menahannya.  Aku tersenyum sambil menangis.  Ia hanya tersenyum kemudian menghapus air mata dari pipiku.  
"Jangan bersedih sayangku, kita telah bertemu lagi bukan?" 
"Ba...bagaimana bis-"
"Karena kau menginginkannya, sayangku."
"Maksudnya?" Bibirku bergetar hebat
"Semua ini terjadi karena keinginan terdalam hatimu."
 





Rabu, 08 Oktober 2014

Cinta (yang telah) Mati


Demikian.  Ketika cinta bercerita.  Tak ada yang sanggup berbicara.  Bahkan kata dan sandi.  Menerka tanpa nyali.  Nadi berganti sunyi.  Tiada rawi yang berbunyi.  Bahkan bisikan jiwa-jiwa yang mati.

---

Sabtu, 02 Agustus 2014

Helena dan Eterna




         Tersebutlah sebuah negeri bernama Joyful dengan pemimpinnya seorang ratu bernama Ratu Everine. Ratu Everine mempunyai seorang putra bernama Pangeran Edward. Dulu, Ratu Everine bergelar permaisuri. Sejak suaminya gugur dalam perang, Permaisuri Everine menggantikan suaminya memerintah negeri Joyful dengan gelar Ratu Everine.
         Pangeran Edward adalah seorang putra mahkota yang lincah dan cekatan. Sejak masa kecil ia sudah berlatih anggar, memanah dan berkuda. Hingga saat usianya kini yang ke-20, ia sudah memimpin perang menggantikan ayahnya yang gugur. Wajahnya tampan. Ia juga tinggi. Ia juga selalu ramah kepada rakyat Joyful. Ia pun disukai rakyat Joyful.
         Pada suatu hari di singgasana Ratu Everine di aula besar istana.

" Uhuk-uhuk...uhuk-uhuk...Pelayan ambilkan minum dan obatku." 

          Ratu Everine terbatuk berat dan terlihat pucat. Pada waktu yang sama Pangeran Edward baru saja kembali dari berlatih perang. Ia melihat ibunya sakit dan menghampiri ibunya.

"Ibunda, apa yang telah terjadi pada ibunda? Apa sakit ibunda kambuh?Pelayan,  berikan padaku obat dan minum untuk ibu." 

            Pangeran Edward dengan cekatan menyuapkan obat ke dalam mulut ibunya dan meminumkan air ke dalam mulut ibunya . Setelah meminum obat, Ratu Everine terlihat lebih segar dan tersenyum ke arah Pangeran Edward. 

"Anakku Edward, ibu rasa sudah saatnya kau mencari istri."

"Apa? Tapi kenapa ibu?"

"Ibu sudah tua Edward. Sudah sepantasnya kau memiliki pendamping untuk diberi gelar permaisuri atau bahkan Ratu nantinya." Ratu Everine tersenyum.

"Ibunda, haruskah?"

"Tentu saja Edward!" Senyum Ratu Everine berubah menjadi wajahnya yang keras dan tegas. 

"Kau punya beberapa hari untuk mengencani gadis gadis bangsawan yang akan datang kesini untuk berdansa denganmu pekan depan. Persiapkan dirimu dan pilih yang terbaik!" Mata Ratu Everine terlihat berbinar-binar sehingga Pangeran Edward tersenyum.

---
      Seminggu kemudian Pangeran Edward sudah mendekati gadis-gadis bangsawan satu persatu. Dan hari ini adalah hari ke enam dimana ia akan memutuskan siapa yang ia pilih di antara gadis-gadis bangsawan. 
     Gadis-gadis bangsawan telah berkumpul di tengah aula istana sedangkan para pelayan menunggu di luar istana.Tak berapa lama datanglah Ratu Everine bersama Pangeran Edward.

"Selamat datang, wahai gadis-gadis bangsawan yang telah beruntung dapat menemani anakku, Pangeran Edward selama sehari dalam seminggu. Bagaimana perasaan kalian?" Ratu Everine memulai.


        Namun gadis-gadis itu diam. Mereka sedikit pun tak ada yang berbicara. Saling dorong. Tiba-tiba seorang gadis berambut coklat panjang bergaun biru tua berbahan kaku maju, Membuat gadis-gadis bangsawan lainnya tergelak mundur.

"Perkenalkan yang mulia" Ia membungkuk dan mengangkat gaunnya pelan.
"Nama saya  Helena." Ia mulai berdiri tegap. Kepalanya terangkat sempurna. Aura seorang bangsawan jelas terlihat.
"Saya berasal dari keluarga bangsawan Montromency." Ia tersenyum dan membungkuk kembali. 
"Kesan saya selama ini dari yang mulia Pangeran Edward adalah..." Ia hentikan ucapannya. Kemudian melirik ke arah Pangeran Edward.
"Dia sangat baik dan perhatian. Peduli rakyat miskin dan sangat dermawan. Saya sangat bahagia bisa bertemu Pangeran Edward." Kemudian ia mengembangkan senyum manisnya perlahan.

        Para tamu undangan di aula tersebut bertepuk tangan untuk keberanian Helena. Helena mundur beberapa langkah, bercampur kembali dengan teman-teman bangsawannya. Pangeran Edward terlihat antusias dan berbisik pada ibunya. Ratu Everine kemudian tersenyum sambil maju selangkah.

"Baiklah putra ku ini sudah memutuskan. Sekarang silahkan kalian menuju rumah masing-masing untuk nantinya diberi surat keputusan dari Pangeran Edward. Terima kasih atas kehadirannya. " Ratu Everine mengakhiri acara hari itu. 

---

         Malam harinya Pangeran Edward tidak bisa tidur. Ia tidak lagi memikirkan kepada siapa surat keputusan pernikahan akan diberikan. Namun ia memikirkan bagaimana ia akan melewati hari-hari nya nanti bersama Helena, gadis yang telah merebut hati nya dari gadis-gadis bangsawan lain yang lebih cantik. Ia tersenyum. Kemudian ia tidur. Berharap ia bertemu Helena kembali dalam mimpinya.

---

       Keesokan harinya, para gadis telah berkumpul di aula istana. Mereka masing-masing berbicara dan membanggakan diri. Mereka sangat optimis bahwa mereka lah yang akan dipilih oleh Pangeran Edward menjadi istrinya. 
        Hingga tiba tiba pintu aula terbuka. Seseorang bergaun biru tua berbahan kaku muncul. Tepat seperti kemarin. Sepatu kulit biru menghiasi kakinya. Helena. Namun hari ini ia berbeda. Ia tidak tersenyum sama sekali. Bahkan tidak memandang sekitarnya. Ia berjalan angkuh di atas karpet merah. Mengangkat gaunnya tinggi-tinggi sehingga sebagian kakinya terlihat.
       Tak lama berselang, Ratu Everine dan Pangeran Edward memasuki aula istana. Pangeran Edward mencari-cari sosok Helena, dan didapatnya Helena tengah mengipas wajahnya dengan kipas. Mata nya genit menatap mata Pangeran Edward.
      Pangeran Edward dan ibunya kemudian duduk sembari sekretaris kerajaan membacakan pembukaan acara. Pangeran Edward kemudian menatap Helena kembali. Helena rupanya tengah menyemprotkan parfum pada sekujur tubuhnya. 
"Ibunda, apa ibunda merasa ada yang aneh pada Helena?" Bisik Pangeran Edward
"Iya, ibu merasa begitu. Tapi itulah Helena yang kau mau bukan?"
Jawab Ratu Everine tanpa menoleh ke arah Pangeran Edward.
"Ya, tentu saja ibu. Tapi aku tak yakin bahwa itu Helena!" Sambil terus berbisik.
"Kau akan tau bahwa dia Helena atau bukan."
"Bagaimana caranya ibunda?" Pangeran Edward kemudian mendekati ibundanya.
"Lakukan apa yang kau lakukan padanya seminggu yang lalu."
     Pangeran Edward mengangguk. Ia beranjak dari sisi ibundanya.  Kemudian menghampiri dan menarik Helena menuju labirin istana.  Pangeran Edward membawa Helena menuju taman di tengah labirin.  Sementara di luar ruangan, seorang perempuan muda yang mengenakan gaun cokelat lusuh mengamati keduanya dengan sedih.

---

    
            Pangeran Edward menarik Helena terus ke dalam labirin.   Tapi kemudian dia berhenti.
“Helena, sejak kapan kau suka mengenakan gelang-gelang?” Pangeran Edward bertanya sambal menunjuk gelang-gelang mewah di tangan Helena.
“Gelang-gelang ini sudah melingkar di tangan ku sejak aku berusia 17 tahun, Ed.” Jawab Helena sambal terus melirik genit kea rah Pangeran Edward.
“Ah, baiklah.” Pangeran Edward merasa ada yang aneh, jadi ia melepaskan genggaman dari tangan Helena dan berjalan ke arah labirin.  Helena panik dan mengejar Pangeran Edward.  Ia kemudian berjalan di samping Pangeran Edward.
“Ed, kita akan pergi kemana? Tempat ini gelap, aku takut!” Helena memeluk lengan Pangeran Edward tiba-tiba.
“Kita akan ke taman labirin.  Kau ingat kan, apa yang kita lakukan minggu kemarin?” Pangeran Edward melepaskan tangan Helena dari tangannya pelan-pelan.
“Ah, tentu saja.” Helena tersenyum menyeringai.
---
            Pangeran Edward duduk d kursi taman bersama Helena.  Kemudian Pangeran Edward mengeluarkan sebuah kotak emas dari kantung jas nya.  Helena tampak terkejut tapi tetap menjaga wajahnya agar terlihat berkelas.
“Kau tau kan, isi kotak ini?” Tanya Pangeran Edward.
“Tentu saja, Ed.” Jawab Helena angkuh.
“Isinya adalah cincin untuk melamarku, bukan?”
“Aku tau itu, kau pasti menyukai ku.”
            Pangeran Edward meletakkan kotak emas itu di tanah kemudian hendak menginjaknya.  Helena menghentikan Pangeran Edward.  Ia mengambil kotak emas itu dan memeluknya.  Pangeran Edward sangat terkejut.
“Kenapa kotak emas berisi cincin ini ingin kau injak?”Tanya Helena.   Pangeran Edward tidak menjawab.  Ia hanya berlutut kemudian mengambil kotak emas itu dan mengarahkan pada Helena.  Helena tersenyum bahagia.
“Ini yang kau mau, kan?”
“Yes, Ed!” Helena mengangguk senang.
            Pangeran Edward perlahan membuka kotak emas itu di hadapan Helena.  Tapi sebelum semuanya terbuka, Pangeran Edward menyembunyikan kotak emas itu dalam jas nya dan bertanya pada Helena.
“Helena, kau ingin cincin ini, atau menikah denganku?”
“Tentu saja cincin ini, Ed! Apa bedanya?” Helena marah tidak sabar.
“Baiklah, jika kau ingin cincin ini, katakan dimana pelayanmu.” 
“Aaah pelayan ku? Mereka ada di gerbang masuk istana.  Sekarang cepat lah kau buka kotaknya! Aku tak sabar untuk berkata ‘Ya’”
 Helena yang hanya fokus pada kotak emas nya menjawab dengan malas.  Pangeran Edward tersenyum kemudian berdiri dan menyerahkan kotak emas itu pada Helena.

“Buka lah sendiri, Helena! Datanglah ke Istana besok jika kau menerima isi kotak itu!” Kemudian Pangeran Edward berlari keluar labirin dengan bahagia.
“Huh untung saja kau pangeran! Kalau bukan sudah kujadikan tukang semir sepatu! Naah mari kita lihat cincin kita…hihihi.”
             
         Perlahan Helena membuka kotak emas itu.  Dan isinya adalah seekor hamster.  Helena terpaku melihat isi kotak emas itu.  Namun tiba-tiba hamster tersebut loncat ke arah Helena sehingga Helena panik dan berteriak keras.

“KYAAAAAAAA!!!!!” Teriakannya terdengar hingga telinga ratu yang masih ada di aula.
Ratu mengangguk dan tersenyum 
“Aku lega, dia bukan calon menantuku.”
---
            Sementara itu Pangeran Edward berlari keluar labirin menuju gerbang istana.  Rombongan pelayan Helena ada disana.  Mereka semua mengenakan pakaian cokelat lusuh.  Ketika melihat Pangeran Edward, tiba-tiba mereka langsung memberi hormat.

“Hey, aku rasa nona kalian sedang bermasalah.  Coba kalian lihat dia di dalam labirin sana.” Kata Pangeran Edward.
             
           Kemudian sebagian pelayan Helena berlari menuju labirin untuk membantu Helena.  Sedangkan Pangeran Edward menghampiri seorang pelayan yang masih menunduk.  Wajahnya ditutupi tudung dari jubahnya.  Pangeran Edward membuka tudungnya dan melihat wajahnya.  Kemudian Pangeran Edward tersenyum dan memeluk pelayan itu.

“Aku mencarimu selama ini.” Bisik Pangeran Edward pada gadis pelayan itu.
“Maafkan aku, Pangeran.” Gadis itu menangis dalam pelukan Pangeran Edward.
“Tapi, bagaimana kau bisa mengetahui bahwa dia itu bukan aku?” Gadis itu menatap Pangeran Edward.
“Jelas saja.  Pertama, dia beritngkah seperti wanita angkuh.  Kedua, dia mengenakan gelang-gelang mewah.  Ketiga, Dia benar-benar gila harta.  Keempat, dia tidak tahu apa isi kotak emas untukmu, sehingga saat dia tau, itulah yang terjadi.” Jela Pangeran Edward
“Tapi pangeran, aku akan dipecat oleh keluargaku sendiri.”
“Tidak akan.  Kami yang akan memecat Helena dari klan Monromency karena telah mencemari nama baik keluarga ini.” Tiba-tiba seorang nyonya kaya datang dari gerbang istana. 
“Aku telah mendengar cerita tentang penderitaanmu, Eterna.  Tidak kusangka bahwa aku akan membuatmu menjadi seperti ini.  Seharusnya aku tidak pernah meninggalkan kalian.” Nyonya tersebut memeluk gadis pelayan yang bernama Eterna tersebut.
            
 Pangeran Edward terlihat bingung dan menatap mereka berdua.  Nyonya kaya tadi segera menarik Eterna dan Pangeran Edward untuk segera masuk dan menemui ibunda Ratu Everine.
---
“Perkenalkan, nama saya Eterna dari keluarga Monromency.  Saya adalah putri pertama dari Lady Felicia dan Lord Henry Monromency.  Adik saya bernama Helena dan dia adalah saudara kembar saya.  Sepuluh tahun yang lalu ibu saya pergi meninggalkan kami untuk mengurus urusan keluarganya di Liverpool.  Namun setelah itu, ia tak pernah kembali ke rumah.  Ayah kami putus asa menunggu ibu dan menikahi seorang dari bangsawan lain, Courtesy Milliana, tiga tahun kemudian.  Courtesy Milliana sangat menyukai adik saya yang berkepribadian mewah dan penuh gaya.  Karena itu lah Helena menjadi semakin berkuasa di rumah kami sendiri apalagi sejak kematian ayah kami.  Sehingga pada suatu hari ketika Pangeran Edward mengadakan sayembara kepada gadis bangsawan, saya dan Helena ingin mengikutinya.  Tapi Courtesy Milliana melarang Helena untuk ikut, jadi beliau mengizinkan saya untuk ikut atas nama Helena.  Begitulah mengapa ini bisa terjadi.  Hormat saya, Eterna Monromency.”
           
         Ratu Everine sendirian duduk di dalam ruang bacanya.  Ia tengah membaca surat dari Eterna dengan seksama.  Ia tersenyum dan merobek kertas itu lalu melemparnya ke dalam perapian.  Kemudian melihat ke arah foto keluarga kerajaan yang terpampang di atas perapian itu.

“Kau bukan lagi Eterna Monromency, anakku.  Kau adalah Putri Eterna dari klan Monromency mulai sekarang.”

-fin-










        

Kamis, 13 Maret 2014

Sisa Sisa Nasionalisme


Bukan sisa saya katakan!
Tetapi sisa-sisa...
Mengapa gerangan?
Karena jutaan orang mencampakkannya
Bukan hanya mereka yang gugur terpuing puing
Bukan hanya mereka yang malu ditelan makian
Tetapi sebagian besar!

Memang peluh menitik
Tentu, darah masih banyak terkorban
Tapi apalah artinya
Jika peluh dan darah suci ini terkorban untuk mereka
Yang merampas harta kita
Yang merampas tenaga kita
Penjajah!

Bukan, bukan penjajah seperti dulu
Penjajah yang datang dari negeri jauh
Angkat senjata, perang lalu mati. Bukan.
Ini penjajah yang lebih kejam daripadanya
Yang lebih tumpul dari belati
Namun lebih menusuk dari pisau
Penjajahan ekonomi dan penjajahan moral

 Kemana sisa-sisa nasionalisme kita?
Menjadi jelaga?
Lalu dihembus angin?
Kemana karakter sejati kita?
Hilang termakan usia?
Jangan pernah mengaku bangsa Indonesia!

Dulu nasionalisme bagaikan kayu
Yang terbakar semangat
Rindu kemerdekaan
Namun kini hanya lah seonggok abu hitam
Menyesal pun boleh, para pejuang kita

Jikalau kemudian abu nya menjadi kayu  kembali
Mengalahkan teori perubahan bentuk
Saya yakin, kita akan menjadi bangsa yang kuat
Yang menjunjung tinggi persatuan
Dan membenci penjajahan

Amin



14 Maret 2014, di suatu Jumat yang terik