Dunia sudah berubah. Sejak pemerintahan diambil alih oleh para
robot, manusia hanya bisa menggunakan robot sebagai alat untuk kehidupan. Robot mengambil alih dunia, dan mengatur
kehidupan kita semua. Kami semua
bergerak tanpa emosi, bahkan hingga kemarin, hari dimana aku mulai mengetik
cerita ini. Robot-robot itu berkata,
emosi adalah yang menyebabkan kehancuran dunia, mulai dari perang dunia 1
hingga zaman terorisme. Pada tubuh
setiap dari kami, sebuah chip ditanam hanya untuk mengawasi emosi kami. Setiap kali emosi diluapkan, semakin
berkurang pula usia kami. Jadi kami
semua hanya menjalani hidup tanpa ada luapan perasaan. Termasuk aku dan ibuku.
Aku baru saja terlahir di dunia
ini 15 tahun yang lalu, tidak melalui rahim ibuku sendiri. Ibu berkata, sejak usia kandungan 5 bulan, ia
memindahkan tubuhku ke dalam tabung agar perkembangannya dapat terkontrol. Rupanya hingga usia kandungannya 9 bulan, ibu
tetap meletakkan ku disitu. Ibu berkata
ini teknologi terbaru dari robot, untuk menurunkan risiko kematian ibu dan aku,
ketika aku dilahirkan. Namun setelahnya
ibu berkata tidak pernah menyusui diriku.
Aku dibiarkan minum dari selang kecil di pinggir kasur. Ibu bilang ini untuk memudahkannya mengasuhku
ketika ia bekerja. Jadi ia juga meletakkan
pengganti popok otomatis di dalam boks bayiku.
Aku merasa senang mengetahui fakta bahwa ibu mengurusku dengan baik,
namun aku merasa ganjil.
Beberapa hari yang lalu aku pergi
ke perpustakaan umum tua di desa. Aku
menemukan video-video arsip lama di dalamnya.
Aku mencoba memutar beberapa video namun sepertinya rusak, atau robot
komputer ini menolak untuk menampilkannya.
Namun aku tetap mencoba memutar video ini, yang dengan menarik
mencantumkan judul “Kehidupan pada Zaman Teknologi Awal”. Akhirnya videonya dapat ku lihat, dengan
sedikit perlakuan kasar pada komputer perpustakaan.
Adegan pertama dari
video ini menampilkan bagaimana kehidupan berjalan di kota-kota besar
dunia. New York, Tokyo, London dan
lainnya. Kerumunan orang berjalan
menyeberangi jalanan dengan santainya, semua orang terlihat sibuk. Adegan selanjutnya adalah bagaimana mereka
bekerja di kantor, mengangkat telpon, mengetik dan sebagainya. Dilanjutkan dengan adegan pulang kantor,
hingga sampai ke rumah. Di rumah yang
mereka temukan adalah keluarga, yang menyambut hangat dengan pelukan dan
senyuman. Ah itu namanya senyuman yang
sebenarnya. Senyum yang aku lihat selama
ini hanya senyum dari robot kepada manusia, tak pernah sebaliknya. Adegan ini terlihat mengesankan. Aku menghentikan video ini untuk sementara. Keluarga ini tengah tertawa dan tersenyum. Apa ini yang namanya bahagia?
Aku menutup video ini, kemudian keluar dari perpustakaan. Ketika tiba di lift, aku melihat bayanganku sendiri dalam cermin di dalam lift. Aku menekan tombol 1, dari lantai 5. Aku masih terpikir adegan tadi dimana semua anggota keluarga terlihat bahagia. Aku kemudian mengalahkan rasa takutku pada robot dan mulai tersenyum. Awalnya aku hanya menarik ujung bibirku dengan jari, namun kemudian senyum itu bertahan tanpa bantuan jari. Aku senyum dan senyum, menikmati rasanya senyum itu. Awalnya aneh, namun lama-lama aku jadi merasa terbebaskan.
Di rumah, aku bercerita pada mama soal pengalamanku barusan. Aku sedang bercerita pada ibu tentang pengalamanku mencoba tersenyum.
"Berhenti. Apa kamu tak tau bahaya jika kamu menunjukkan emosi mu?" Tanya ibu. Aku tak menjawab, hanya memalingkan wajahku.
"Kamu tau kan, menunjukkan emosi bisa mengantarkanmu pada kematian?" Tanya ibu lagi. Aku tak menjawab lagi.
"SR15. Aku tak perlu membentakmu agar kamu menjawabku kan?" Ibu mulai menaikkan nada suaranya
"Ibu panggillah aku dengan nama pemberianmu. "
"Tidak sebelum kau jawab aku."
"Ibu, aku hanya ingin terbebas dari dunia robot ini. Aku ingin tersenyum dan tertawa, menangis dan marah, tidak seperti ini. Aku harus menahan segala emosiku, aku bahkan ingin memelukmu, mencium pipimu yang hangat, tersenyum tiap kali kau pulang ke rumah dan lainnya. That's all i want, mom."
Plakk. Ibu menampar pipiku. Aku terkejut kemudian mengelus pipiku. Ibu tak pernah menamparku sama sekali. Aku tersentak kemudian melihatnya menangis sambil bersimpuh. Ibu menangis!
"Ibu. . ."
"Maafkan ibu, Sarah. Ibu tak bisa membawa kita keluar dari kekejaman ini."
"Tidak apa, ibu. Aku baik baik saja."
"Tidak, kau pasti tersiksa dengan semua ini". Aku mulai menangis, air mataku keluar.
"Kamu jangan menangis, Sarah. Ibu tidak mau kamu pergi sekarang."
"Ibu, aku tidak peduli usia ku sendiri, aku ingin meluapkan emosi ini bersama ibu."
Kemudian kami berpelukan, sambil terus menangis menumpahkan emosi yang bertahun-tahun kami pendam. Selanjutnya aku dan ibu tertidur di sofa, hingga esok harinya. Hari ini. Dimana aku menyelesaikan cerita ini. Pagi ini aku melihat ambulans dari jendela kamarku. Entahlah, apabila aku dan ibu mati hari ini, setidaknya kami sempat merasakan indah meluapkan emosi. Ah mungkin hanya ini yang bisa aku ceritakan. Ibu telah memanggilku untuk menonton satu film komedi yang pernah kami tonton tanpa tawa, berarti kali ini dengan senyum dan tawa haha.
Salam Sayang dari cicitmu di masa depan,
Sarah (Kode percobaan : SR15)