Setelah sekian lama, akhirnya! Inspirasi untuk cerita ini datangnya jauh sebelum cerita ini diterbitkan. Sekitar bulan Oktober, sepulangnya dari menonton konser chamber orchestra. Disitu kebetulan temen gue ngisi acara, dia main piano trio dan gue mulai merangkai cerita dalam otak gue selama dia main. Bukan expert dalam bidang musik, akhirnya gue googling soal istilah istilah musik dan ketemu satu istilah yang namanya Dal Segno Al Fine. Maksud istilah ini adalah "mengulang satu bagian yang bertuliskan repeat kemudian menyelesaikan lagunya sampai tulisan Fine." Jadi cerita ini dibuat dengan kerangka D.S Al Fine. Mengulang satu bagian cerita kemudian menyelesaikannya hingga tulisan Fine. Kurang lebihnya sih gitu. Segala kesalahan mohon maaf. Selamat membaca.
---
Aku berdiri dari tempat tidurku. Lorong kamarku begitu terangnya. Terdengar suara piano dari kamar ibu. Aku masuk, kemudian terkejut. Seorang berjas hitam memainkan sebuah lagu
dengan lancarnya. Aku mengintip dari
balik pintu dan tampaknya ia menyadari keberadaanku. Ibu tidak ada di kamarnya.
“Masuklah. Aku hanya singgah
sebentar disini.” Orang itu berucap
Aku terkejut, kemudian aku masuk ke dalam ruangan itu. Aku tidak berani mendekat ke arah orang
tersebut. Orang tersebut kemudian mengelus
elus piano ibu. Tidak menampakkan
sedikitpun wajahnya.
“Mendekatlah, aku akan bermain piano untukmu.”
Tapi aku semakin takut. Hingga
akhirnya dia menolehkan sedikit wajahnya ke arahku.
“Tidak apa, jangan takut.”
Aku memberanikan diriku untuk mendekat.
Barulah ia kembali ke posisi semula dan mulai memainkan lagi piano ibu. Ia merapikan posisi duduknya dan mulai
bermain piano. Sambil bermain ia
menggerakkan kepala dan tubuhnya ke kanan dan ke kiri menikmati lagu yang ia
mainkan sendiri.. Aku duduk di sebelahnya. Ia terkejut dan bergeser.
“Chopin’s Nocturne. Aku akan
mengajarkannya untukmu. Tapi
berjanjilah untuk memainkannya walau aku tidak ada. Hafalkan ini, aku mohon.”
Aku yang tidak tau apa-apa hanya mengangguk kemudian mengikuti jemarinya
bermain. Aku mengikuti setiap lagu
yang ia mainkan, menirunya dengan sempurna sehingga aku hampir lupa bahwa
rambutku telah sampai menutupi mataku.
Permainan piano ku tidak seindah saat rambutku masih pendek. Aku pun bangun dan melangkah ke arah pintu.
“Mau kemana? Bukankah kau senang bisa bermain piano? Jangan tinggalkan
aku.”
“Aku mau potong rambutku. Aku tidak
bisa bermain baik dengan rambut seperti ini.”
“Kau akan baik-baik saja dengan rambut seperti itu. Percayalah padaku. Sudah sangat lama sejak kita bermain bersama. Setelah ini kita akan bermain piano duet,
aku berjanji.”
“Tidak, aku ingin memotong rambutku dulu.
Baru setelah itu aku kembali.
Aku berjanji.”
“Tapi jika kamu keluar dari pintu itu, kamu tidak akan bisa kembali
kesini. Jangan tinggalkan aku.”
“Perlihatkan wajahmu, yakinkan aku untuk tetap disini.”
“Aku tidak bisa! Apakah kamu tidak
percaya dengan cinta kita?”
“Tidak. Aku ingin lihat wajahmu.”
“Tidak. Jika kamu melihat wajahku
sekarang, kau tidak akan mengingat cinta kita yang sempurna ini.”
Aku kemudian menghampirinya.
Memeluknya dari belakang. Ia
yang tak pernah tua seberapa menua nya aku.
Dan dia mencintaiku. Pria yang
misterius ini.
“Biarlah, aku mohon. Perlihatkan
wajahmu sekali saja. Aku ingin tahu
bagaimana rupa kekasihku ini.”
“Ingatlah cintaku, sesuatu yang dinikmati saat ini tidak akan kau ingat di
masa depan nanti.”
“Aku lebih baik pergi kalau begitu..”
Aku melepaskan pelukanku dan berjalan menjauh ke arah pintu dan
membukanya.
“Jangan! Tutuplah pintu itu sejenak, aku akan memperlihatkan wajahku
padamu, setelah itu pergilah!”
Aku menutup pintu itu dengan menyisakan sedikit cahaya dari luar pintu
tersebut. Bayangan lelaki ini dan
pianonya mulai mengabur di mata ku.
“Apakah aku masih terlihat jelas di mata mu? Itu efek pintu nya
sayangku. Pintu itu akan mengaburkan
bayanganku terus menerus hingga aku tak terlihat lagi. Tapi aku tak akan menipumu. “
Dia membuka topeng hitamnya, wajahnya bersinar sangat terangnya,
mengalahkan cahaya dari luar pintu.
Ketika cahayanya meredup, aku baru bisa melihat wajahnya. Wajahnya yang sangat menawan, tersenyum dan
menangis menatapku. Kemudian bayangan
mengabur lagi. Aku terjatuh dengan
pintu yang masih terbuka sebagian.
“Aku akan mengingat wajahmu. Aku
berjanji.”
Ia menghampiri diriku, memapahku dan menuntunku ke arah pintu kemudian
tersenyum.
“Aku akan mencintaimu, bahkan ketika aku tak tau bahwa aku pernah
mengenalmu.”
Ia hanya bisa tersenyum lemah dan aku dibaringkan di depan pintu, dengan
cahaya terang yang menyinariku. Dia
kembali ke dalam pintu, namun sebelum pintu tertutup, bayangannya telah memudar
dan dia pun hilang. Sampai jumpa.
---
Aku mulai merasakan jemariku. Kakiku, hingga ujung kukunya. Lemah sekali. Aku hampir saja hanya terbaring di padang rumput terang itu kalau
saja aku tidak membuka mata. Cahaya
yang lebih redup menyala di atasku. Aku
menggerakkan jemariku. Infus. Aku di rumah sakit. Ah aku sudah sampai di rumah sakit. Mungkinkah semalam tubuhku dipindahkan ke
rumah sakit?
Kepala ibu terbaring di tanganku. Matanya sembab, terpejam entah sedari kapan
ia menunggu diriku disini. Aku masih
terdiam dalam sepi, detik jam mengalir lancarnya di dinding seberang
kasurku. Pukul 01:00. Aku tidak bisa tidur lagi. Aku menatap jendela luar kamarku. Seseorang menatapku sambil tersenyum
ramah. Seorang laki-laki. Aku memperhatikan dia dengan seksama. Bingung.
Namun ia malah tampak sedih, kemudian dia pergi. Dia pasti salah seorang temanku, mungkin
teman SD? Wajahnya tampak pernah ku kenal tapi aku tak begitu yakin.
Tiba-tiba ibu terbangun. Ia melihatku dan aku melihatnya. Kemudian aku memeluknya dengan tangan ber-infus ku. Aku seperti sudah sangat lama meninggalkan ibu. Aku begitu merindukannya hingga air mataku mengering.
"Kenapa kau ini, nak? Ibu pikir tidak separah itu."
Aku terdiam, kemudian melepaskan pelukanku.
"Eh! Siapa yang suruh lepas?" Ibu merangkulku kembali dalam pelukannya.
"Hehe...hehehehe"
Kemudian aku dan ibu tertawa sampai subuh.
---
Dari tutur ibu aku baru tahu bahwa aku telah koma selama 4 hari dan aku tidak pernah dibawa dari padang rumput dan semacamnya. Berarti aku bermimpi. Tapi rasanya sudah bertahun-tahun aku bersama laki-laki piano itu. Hingga rambutku yang rimbun tumbuh menutupi mataku, berarti sudah sangat lama aku bersamanya. Namun mengapa ia tak kunjung menua, dari rambutnya yang tak pernah memanjang. Apakah ia makhluk yang hidup dalam mimpi? Aku mencoba mengingat wajahnya. Namun sekeras apapun aku berpikir, kepala ku malah menjadi pening dan terpaksa aku harus tidur kembali. Berhari-hari aku mencoba tidur dan menemuinya lagi. Namun gagal. Hanya hitam, aku tertidur dengan pulasnya. Awalnya tak kutemukan apa-apa dalam mimpiku. Kemudian beberapa hari kemudian setelah aku menjalani operasi perdana ku, aku kembali bermimpi.
---
"Selamat datang kembali, anakku."
"Apa aku di surga?"
"Tentu tidak, kau hanya masuk ke dalam dunia tidur panjangmu, nak." Aku kemudian mengangguk dan menatap laki-laki paruh baya ini. Ia tak mengenakan topeng seperti laki-laki piano sebelumnya.
"Jangan begitu, aku memang tidak ingin mengenakan topeng." Dia membaca pikiranku!
"..." Aku hanya bisa terdiam dengan panik
"Jangan takut, aku tak akan membacanya sekarang. Katakan keinginanmu, anakku."
"Aku ingin tahu, dimana kekasihku pemain piano itu?"
Laki-laki ini menghela nafas sejenak. Wajahnya tampak sedih dan muram.
"Apakah dia itu anakmu?"
"Ah, tentu saja bukan! Dia adalah seseorang yang kau cintai, anakku. Percayalah padaku, kau butuh pengorbanan yang berat untuk bertemu dengannya."
"Pengorbanan apa itu? Katakan padaku, akan ku laksanakan segera!" Ia menggeleng pasrah.
"Hanya kau yang tau pengorbanan apa yang harus dijalani untuk bertemu dengannya. Percayalah pada cinta dalam hatimu, anakku."
Aku terduduk lesu, di lantai putih yang dingin itu.
"Aku merindukannya..."
Dia hanya menatapku sedih.
"Dia akan datang ketika kau tak mengharapkannya."
"Tapi aku..."
"Kembalilah kepada ibumu, anakku. Aku tak akan segan menasihatimu lagi jika kau kembali kesini." Katanya sambil menggelengkan kepala dan tersenyum.
"Hehe.." Aku tersenyum kemudian menuju pintu yang sama yang membawaku ke padang rumput.
"Oh!" Aku berhenti sejenak kemudian berbalik
"Ya?"
"Siapa namamu?"
"Namaku Maurice."
"Apakah aku boleh menulis namamu dalam hatiku? Agar aku tidak melupakanmu. Siapa tahu aku akan kembali lagi ke dunia tidur panjang ini hehehe."
"Kau bisa jika kau mau, nak."
"Jadi sebenarnya aku bisa mengingat nama dan wajah dari kekasihku pemain piano itu?"
"Well, that's clear enough "
Aku menghela nafas sedih. Itu artinya kekasih ku tidak ingin aku mengingatnya. Padahal aku bisa jika aku mau. Mengapa begitu? Mungkinkah ia akan muncul kembali?
"Hey! Pulanglah!" Maurice berteriak padaku.
"Ya!! Sampai jumpa!"
Kemudian aku bergegas membuka pintu dan menuju padang rumput yang membuatku mengantuk dan tertidur di atas rerumputan. Dan kembali terbangun di atas kasur yang empuk. Ibu tengah menggenggam tanganku erat. Kali ini alat bantu nafas dipasang di atas hidungku.
"Dia akan datang ketika kau tak mengharapkannya."
"Tapi aku..."
"Kembalilah kepada ibumu, anakku. Aku tak akan segan menasihatimu lagi jika kau kembali kesini." Katanya sambil menggelengkan kepala dan tersenyum.
"Hehe.." Aku tersenyum kemudian menuju pintu yang sama yang membawaku ke padang rumput.
"Oh!" Aku berhenti sejenak kemudian berbalik
"Ya?"
"Siapa namamu?"
"Namaku Maurice."
"Apakah aku boleh menulis namamu dalam hatiku? Agar aku tidak melupakanmu. Siapa tahu aku akan kembali lagi ke dunia tidur panjang ini hehehe."
"Kau bisa jika kau mau, nak."
"Jadi sebenarnya aku bisa mengingat nama dan wajah dari kekasihku pemain piano itu?"
"Well, that's clear enough "
Aku menghela nafas sedih. Itu artinya kekasih ku tidak ingin aku mengingatnya. Padahal aku bisa jika aku mau. Mengapa begitu? Mungkinkah ia akan muncul kembali?
"Hey! Pulanglah!" Maurice berteriak padaku.
"Ya!! Sampai jumpa!"
Kemudian aku bergegas membuka pintu dan menuju padang rumput yang membuatku mengantuk dan tertidur di atas rerumputan. Dan kembali terbangun di atas kasur yang empuk. Ibu tengah menggenggam tanganku erat. Kali ini alat bantu nafas dipasang di atas hidungku.
---
Ibu menatapku lemah ketika kemudian aku bangun dan tersenyum padanya. Ia terlihat sangat lelah menjaga ku semalaman. Ketika aku bertanya berapa lama aku pingsan, ibu menggeleng sedih dan memberiku kode dengan bahasa isyarat.
Tujuh hari. Lebih lama dari biasanya. Dokter bilang kepada ibu bahwa masa penyembuhan organ tubuhku terus meningkat dan luka operasi akan segera membaik. Namun mengapa aku masih pingsan, dokter hanya mengangkat bahu dan berkata "Hanya Tuhan yang tahu." dan begitulah kenapa ibu menatapku lemah. Hampir putus asa. Tapi ibu tetaplah ibuku. Aku kemudian makan beberapa suap bubur dan kemudian ibu tertidur. Dalam hati aku berharap untuk dapat segera bertemu kekasih piano ku lagi.
Hari ketiga setelah operasi pertamaku. Hari ketiga sejak aku merindukan kekasihku itu. Aku teringat sesuatu. Saat itu ibu sedang di kamar mandi.
"Bu! Apa ibu mengenal seseorang bernama Maurice? "
"Siapa??"
"Maurice buuu."
"Sebentar, sebentar!"
Kemudian ibu keluar dari kamar mandi dan mengeringkan tangannya. Siapa namanya coba sekali lagi? Ia duduk di sebelahku dan menuangkan minum untukku.
"Maurice. Apa ibu mengenalnya?"
Ibu terkejut. Ia memandangku dengan bingung.
"Dari mana kau tau nama itu?"
"Dari mimpiku. Seseorang bernama Maurice menemuiku."
Ibu terduduk lemas. Wajahnya terlihat gelisah. Berkali kali ia menghembuskan nafas berat.
"Ibu tidak apa apa?"
Ibu menatapku bahagia, ia mengelus rambutku.
"Maurice itu nama kecil almarhum ayahmu nak. Dulu ibu pertama kali bertemu dengannya dengan nama Maurice." Kemudian setitik air muncul di tepian mata ibu. Jadi aku baru saja bertemu almarhum ayahku. Di surga kah? Pantas saja aku disuruhnya kembali ke dunia nyata.
Tujuh hari. Lebih lama dari biasanya. Dokter bilang kepada ibu bahwa masa penyembuhan organ tubuhku terus meningkat dan luka operasi akan segera membaik. Namun mengapa aku masih pingsan, dokter hanya mengangkat bahu dan berkata "Hanya Tuhan yang tahu." dan begitulah kenapa ibu menatapku lemah. Hampir putus asa. Tapi ibu tetaplah ibuku. Aku kemudian makan beberapa suap bubur dan kemudian ibu tertidur. Dalam hati aku berharap untuk dapat segera bertemu kekasih piano ku lagi.
---
Hari ketiga setelah operasi pertamaku. Hari ketiga sejak aku merindukan kekasihku itu. Aku teringat sesuatu. Saat itu ibu sedang di kamar mandi.
"Bu! Apa ibu mengenal seseorang bernama Maurice? "
"Siapa??"
"Maurice buuu."
"Sebentar, sebentar!"
Kemudian ibu keluar dari kamar mandi dan mengeringkan tangannya. Siapa namanya coba sekali lagi? Ia duduk di sebelahku dan menuangkan minum untukku.
"Maurice. Apa ibu mengenalnya?"
Ibu terkejut. Ia memandangku dengan bingung.
"Dari mana kau tau nama itu?"
"Dari mimpiku. Seseorang bernama Maurice menemuiku."
Ibu terduduk lemas. Wajahnya terlihat gelisah. Berkali kali ia menghembuskan nafas berat.
"Ibu tidak apa apa?"
Ibu menatapku bahagia, ia mengelus rambutku.
"Maurice itu nama kecil almarhum ayahmu nak. Dulu ibu pertama kali bertemu dengannya dengan nama Maurice." Kemudian setitik air muncul di tepian mata ibu. Jadi aku baru saja bertemu almarhum ayahku. Di surga kah? Pantas saja aku disuruhnya kembali ke dunia nyata.
---
"Hey" Aku membuka mataku perlahan
"Hey" Aku masih berusaha menyadarkan penglihatanku
"Hey, gadis cantik." Aku berusaha menggerakkan tubuhku namun tak ada yang bergerak selain mata dan mulutku.
"Aku merindukanmu." Aku terhenyak. Suara yang kukenal.
"Sangat merindukanmu. kau tau." Suara yang tadi ada di punggungku, berpindah ke depan mataku. Ia menampakkan dirinya di depanku. Tersenyum. Aku tidak bisa berkata-kata, air mataku mengalir tanpa aku sempat menahannya. Aku tersenyum sambil menangis. Ia hanya tersenyum kemudian menghapus air mata dari pipiku.
"Jangan bersedih sayangku, kita telah bertemu lagi bukan?"
"Ba...bagaimana bis-"
"Karena kau menginginkannya, sayangku."
"Maksudnya?" Bibirku bergetar hebat
"Semua ini terjadi karena keinginan terdalam hatimu."