Sabtu, 10 September 2011

From Hospital with Love

Disty masih merasakan sakit di kakinya ketika Trisa menghampiri Disty yang terbaring di Rumah Sakit. 
“Masih sakit ya, Dis?” Tanya Trisa seraya menatap gips di kaki kanan Disty.  Disty mengangguk tanpa berbicara.  Matanya masih tertuju pada kaki kanannya tersebut. 
            Ceritanya bermula ketika pertandingan basket antar kelas sepuluh, dua hari yang lalu.  Kejadian itu terjadi di saat yang tidak tepat, yaitu saat kelas X-A yang dibela Trisa dan Disty hampir mencetak angka di menit terakhir.  Ketika Trisa sedang dribble bola menuju ring, ia dihadang segerombolan murid dari team X-B.  Akhirnya bola terpaksa dioper ke Disty.  Namun naas, ketika Disty ingin menangkap bola, ada seorang murid bertubuh kekar dari team X-B yang menabrak tubuh Disty dengan keras hingga terjatuh.  Saat ingin bangkit, tiba-tiba murid tersebut menginjak kaki kanan Disty dengan sangat keras. 
            “Aku masih bisa membayangkan bagaimana si Ervina menginjak kaki kananmu, Dis!” Seru Trisa sambil mengepalkan tangannya. 
“Rasanya pengen ku pukul dia!” Lanjutnya sampai menggebrak meja di kamar Disty.  Disty menghela napas dan tersenyum. 
“Udahlah Tris.  Lagipula dia udah minta maaf kok.  Dia juga udah dijatuhi hukuman kan sama bu Frina?” Sahut Disty dengan tenang. 
“Iyasih.  Tapi kan.  .  .  kan kamu juga tau kalo kepala sekolah kita yang satu itu plin plannya minta ampun! Trus hukumannya tanggung banget lagi, huh! Gak terima aku!” Jawab Trisa membela Disty. 
“Udah, pasti Ervina dikasi ganjaran yang sesuai kok sama perbuatannya.  Kamu tenang aja Tris!” Sahut Disty sambil tersenyum dan membuat tanda ‘OK’ yang terbentuk dari telunjuk dan jempol yang membentuk huruf ‘O’ dan tiga jari lainnya berdiri tegak. 
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketok.  Saat pintu dibuka, Trisa terkejut dan takut setengah mati.  Karena yang masuk ke kamar perawatannya Disty adalah Bu Frina, kepala sekolah yang tadi dibicarakan oleh Disty dan Trisa. 
“Disty, bagaimana keadaan kamu? Kamu baik-baik aja kan disini? Maaf ya, ibu baru sempat menjenguk kamu hari ini.  Kaki kamu sudah baikan?” Bu Frina menembak Disty dengan serentetan pertanyaan yang membuat Disty bingung. 
“Ah iya, Bu.  Gapapa bu, ada Trisa kok yang jagain saya.  “ Jawab Disty sambil tersenyum. 
Tiba-tiba sedang asyiknya mengobrol, Bu Frina melihat ke arah Trisa yang terlihat gemetar dan ketakutan. 
“Gak usah takut, Trisa.  Ibu gak bakal hukum kamu seperti ibu hukum Ervina kok.  Hehehe.  “ Tegur Bu Frina  sambil tertawa dan menepuk bahu Trisa. 
Trisa yang terkejut segera tersenyum malu hingga wajahnya semerah tomat.  Disty dan Bu Frina segera tertawa melihat raut wajah Trisa. 
Kemudian Bu Frina tampak memanggil seseorang ke dalam kamar perawatan Disty.  Orang itu pun masuk.  Dia adalah putra dari Bu Frina yang juga murid di SMA Perkusi tempat Disty dan Trisa menimba ilmu. 
“Disty ya? Namaku Hendra.  Aku kelas X-D.  Pasti kamu gak kenal aku.  Iya kan?” Orang yang bernama Hendra itu memperkenalkan diri kepada Disty tepat di samping ranjang Disty. 
“Aah? Iya bener.  Aku belom pernah liat kamu.  Eh, udah pernah tapi gak tau namamu.  Eh, sering deh aku liat kamu.  Hehehe.  Makasi ya udah mau jenguk aku.  “ Disty menjawab dengan grogi hingga jawabannya ngawur dan tersipu malu. 
“Hei, kenalin namaku Trisa.  Aku sekelas sama Disty.  Mungkin kamu pernah lihat aku di ekskul karate, atletik, bulutangkis, ama basket.  I love Sport!” Seru Trisa sambil menyodorkan tangannya dengan cepat. 
Sebelum berniat mengambil tangan Trisa dan menyalaminya, Hendra memperhatikan perawakan Trisa.  Tubuh kekar dengan otot di lengan dan kepalan tangan yang mantap. Barulah setelah itu Hendra yakin bahwa Trisa benar-benar menyukai olahraga. 
“Ibu tinggal dulu ya.  Kalian berbincang-bincang dulu lah.  Hendra, temani Disty ya.  Jangan ditinggal.  “ Kata Bu Frina sambil membuka pintu dan meninggalkan kamar perawatan. 
Selama ini Hendra bertampang sangat culun dan tidak menarik.  Gaya rambut klimis, memakai kacamata, kemana-mana membawa buku.  Namun walau begitu, dia cukup pintar di kelas.  Sekarang ia sedang menunggu wanita yang mencintainya apa adanya.  Hendra menunggu waktu yang pas untuk menampilkan bakat dan penampilannya aslinya. 
Selama ini Disty sudah sangat menyukai Hendra.  Disty yakin, di balik keburukan orang ada kebaikan yang sangat indah.  Disty sering mendengar bahwa Hendra baik kepada semua orang dan tidak pernah merokok, minum minuman keras maupun berjudi. 
“Rumah kamu dimana, Dis?” Tanya Hendra tiba-tiba. 
“Hmm, itulho di deket tugu peringatan, eh tugu perkawinan eh bukan.  Di tugu pembangunan.  Iya ho’oh.  Hehehe.  Maaf ya, aku lupa nih.  “ Sekali lagi Disty menjawab dengan grogi hingga menimbulkan kecurigaan pada diri Hendra. 
Trisa sudah tau perasaan Disty kepada Hendra sejak lama.  Maka dari itu setelah melihat Disty dan Hendra akrab, ia hanya mendengarkan dan duduk manis. 
Setelah pertemuan tersebut, Hendra selalu menjenguk Disty dan mereka pun menjadi sahabat.  Pada hari kepulangan Disty dari rumah sakit, Trisa menemani Disty di dalam mobil. 
“Hmm, akhirnya kamu pulang juga ya, Dis.  Ntar kita bisa latihan basket lagi deh.  Hehehe “ Seru Trisa dengan semangat. 
“Iya, tenang aja Tris.  “ Jawab Disty sambil mengangguk dan tersenyum riang. 
Sesampainya di rumah Disty, ada banyak mobil terparkir di garasi rumahnya.  Bahkan sampai ada mobil yang parkir di luar pagar. 
“Ada apaan, Tris? Rame banget.  .  .  “ Tanya Disty penasaran. 
“Coba saja kamu masuk dulu.  “ Jawab Trisa sambil tersenyum simpul.
Ketika Disty membuka pintu, banyak sekali orang.  Mulai dari keluarga, teman, hingga sahabat sudah hadir di sana.  Di pojok ruangan tergantung sebuah spanduk bertuliskan ‘SELAMAT KEMBALI KE RUMAH!  GET WELL SOON! :*’   
Pesta diadakan dengan sangat meriah.  Mereka bergantian menandatangani gips yang dipakai Disty sekedar mendoakan semoga kakinya dapat sehat kembali. 
Dari keramaian, Bu Angel selaku mama Disty mendorong sebuah kotak kado yang sangat besar. 
“Ma, ini besar banget.  Mama gak serius kan ngasi ini ke aku?. Aku gak bisa nerima kado sebesar ini ma.   “ Kata Disty merendah. 
“Kamulah yang paling bisa menerima isi kado ini daripada orang lain.  “.  Kata Mama sambil tersenyum penuh teka-teki. 
Kotak tersebut berwarna Pink, dengan aksen perak dan berpita merah.  Disty perlahan-lahan menghampiri kotak tersebut.  Ditariknya pita yang membalut kotak tersebut.  Akhirnya kotak terbuka dan terlihatlah isinya. 
Semua yang berada di dalam ruangan itu terkejut dan terperangah.   Kado tersebut adalah Hendra.  Namun kali ini ia merubah sendiri penampilannya di depan semua orang.  Ia membuka kacamatanya dan memberi gaya pada rambutnya.  Sungguh keren Hendra!
Disty terduduk dengan senyum yang kegembiraan.  Hendra kemudian Berlutut di depan Disty dan mneyodorkan setangkai mawar merah. 
“Disty, maukah kau.  .  .  “
“Tentu saja aku mau.  Aku sudah memimpikan ini sejak dulu.  “
Pesta itu berlanjut dengan dansa antara sepasang kekasih yang baru saja mengungkapkan perasaan mereka. 

----Tamat----