Halo, namaku Irene. Aku adalah anak satu-satunya dan kesayangan orang tua ku sampai
adikku, Niken terlahir ke dunia ini.
Aku tidak merasa bahagia ataupun kecewa. Segalanya ku jalankan biasasaja. Sampai akhirnya aku mengetahui fakta tentang orang tua ku.
Orang tua ku adalah
cenayang. Profesi yang menjadi andalan
mereka dalam pekerjaan keduanya sebagai aktuaris di perusahaan asuransi
besar. Kamu mungkin tidak dapat
mempercayainya tapi aku yakin, ini bukan mitos belaka. Apa yang dikatakan oleh keluarga besarku
semua ada benarnya. Awalnya ayah hanya
menebak hasil ujian matematika pertamaku ketika kelas satu SD namun akhir-akhir
ini ketika aku mulai menginjak lantai kampus yang dingin, ayah mulai melarangku
mengikuti ekstrakurikuler kampus. Apapun
bentuknya.
Begitu pula dengan ibu,
dulu ia hanya menenangkan curhatku yang tidak sepenuhnya lengkap, namun itu
menyelesaikan sebagian besar masalahku.
Sekarang, ibu tidak lagi menebak semudah itu. Ia mulai mengontrol pola makanku, membawakan aku bekal, air minum
dan sebagainya. Aku begitu curiga nya
dengan ibu sampai-sampai ibu begitu kesalnya melihatku jalan bersama
teman-teman.
Sejak beberapa bulan yang
lalu, aku divonis mengidap asma. Dokter
sendiri yang bilang padaku untuk menjaga kesehatanku. Kemudian baru aku menyadari.
Ayah dan ibu melarangku karena mengetahui kondisi tubuhku yang rentan.
Berat badan ku turun. Jauh sejak sebelum aku mulai asma. Tidak hanya itu, tanganku mengecil dan pipi
kiri dan kanan ku mengecil. Aku mulai
mudah terbatuk-batuk. Sampai akhirnya
pada suatu hari ketika ibu kedatangan teman-teman sekantornya dan sedang
membacakan garis tangan kepada mereka, aku terbatuk keras di kamar. Ibu segera berlari ke kamarku. Hanya tersisa bercak darah di kasurku. Aku bersembunyi sambil menangis dalam
selimut.
Beberapa
bulan setelah aku divonis TBC dan Astma sekaligus, aku mulai dirawat di Rumah
Sakit. Awalnya semua begitu sepi. Ayah bekerja di kantornya sampai larut
malam, pagi buta ia baru menjengukku dan mencium keningku. Ibu juga begitu. Siang ia datang, membawakanku pakaian dan malam ia akan mengurus
Niken di rumah. Aku merasa begitu
kesepian. Namun pada minggu ketiga aku
dirawat, tiba-tiba saja aku dipindahkan ke ruang VIP beserta keluargaku
menginap di kamar sebelah. Mereka
membawa laptopku dan bahkan membawa kartu UNO untuk ku mainkan. Setelah itu
frekuensi aku kesepian berkurang, hingga dapat kuhitung jari.
Malam terakhir ku di rumah
sakit, tepat setelah dokter menyatakan keadaanku telah sembuh total, ibu dan
ayah masuk ke kamarku. Mereka memberiku
seuntai kalung dengan liontin mutiara yang sangat cantiknya. Aku melihat diriku di cermin lebih spesial
dan lebih cantik dari biasanya. Mereka
bilang itu hadiah kesembuhanku. Aku
tersenyum, kemudian memeluk mereka erat.
Mereka mencium keningku dengan lembutnya, kemudian
pergi menutup pintu kamarku, membiarkanku tidur. Entah walaupun itu pukul 20:00, aku mengantuk luar biasa. Aku bisa mendengar isak tangis ibu di kamar
sebelah, sekedap apapun ruangan itu.
Aku pun menangis seraya menutup mataku.
Seakan tau, bahwa itu hari terakhirku membuka mata.
Keesokan paginya aku masih membuka mataku, di
tempat yang sama sekali berbeda.
Sinarnya cerah secerah matahari pagi dan kursinya sangat nyaman senyaman
rumput di pekarangan rumah. Aku sudah
pergi. Namun kalung berliontin mutiara
itu masih menyangkut di leherku. Ketika
aku mengingatnya kembali, oh ya orang tua ku adalah cenayang.