Rabu, 17 Juni 2015

Cenayang


               Halo, namaku Irene.  Aku adalah anak satu-satunya dan kesayangan orang tua ku sampai adikku, Niken terlahir ke dunia ini.  Aku tidak merasa bahagia ataupun kecewa.  Segalanya ku jalankan biasasaja.  Sampai akhirnya aku mengetahui fakta tentang orang tua ku.
            Orang tua ku adalah cenayang.  Profesi yang menjadi andalan mereka dalam pekerjaan keduanya sebagai aktuaris di perusahaan asuransi besar.  Kamu mungkin tidak dapat mempercayainya tapi aku yakin, ini bukan mitos belaka.  Apa yang dikatakan oleh keluarga besarku semua ada benarnya.  Awalnya ayah hanya menebak hasil ujian matematika pertamaku ketika kelas satu SD namun akhir-akhir ini ketika aku mulai menginjak lantai kampus yang dingin, ayah mulai melarangku mengikuti ekstrakurikuler kampus.  Apapun bentuknya.
            Begitu pula dengan ibu, dulu ia hanya menenangkan curhatku yang tidak sepenuhnya lengkap, namun itu menyelesaikan sebagian besar masalahku.  Sekarang, ibu tidak lagi menebak semudah itu.  Ia mulai mengontrol pola makanku, membawakan aku bekal, air minum dan sebagainya.  Aku begitu curiga nya dengan ibu sampai-sampai ibu begitu kesalnya melihatku jalan bersama teman-teman. 
            Sejak beberapa bulan yang lalu, aku divonis mengidap asma.  Dokter sendiri yang bilang padaku untuk menjaga kesehatanku.  Kemudian baru aku menyadari.  Ayah dan ibu melarangku karena mengetahui kondisi tubuhku yang rentan.
            Berat badan ku turun.  Jauh sejak sebelum aku mulai asma.  Tidak hanya itu, tanganku mengecil dan pipi kiri dan kanan ku mengecil.  Aku mulai mudah terbatuk-batuk.  Sampai akhirnya pada suatu hari ketika ibu kedatangan teman-teman sekantornya dan sedang membacakan garis tangan kepada mereka, aku terbatuk keras di kamar.  Ibu segera berlari ke kamarku.  Hanya tersisa bercak darah di kasurku.  Aku bersembunyi sambil menangis dalam selimut.
            Beberapa bulan setelah aku divonis TBC dan Astma sekaligus, aku mulai dirawat di Rumah Sakit.  Awalnya semua begitu sepi.  Ayah bekerja di kantornya sampai larut malam, pagi buta ia baru menjengukku dan mencium keningku.  Ibu juga begitu.  Siang ia datang, membawakanku pakaian dan malam ia akan mengurus Niken di rumah.  Aku merasa begitu kesepian.  Namun pada minggu ketiga aku dirawat, tiba-tiba saja aku dipindahkan ke ruang VIP beserta keluargaku menginap di kamar sebelah.  Mereka membawa laptopku dan bahkan membawa kartu UNO untuk ku mainkan. Setelah itu frekuensi aku kesepian berkurang, hingga dapat kuhitung jari.
            Malam terakhir ku di rumah sakit, tepat setelah dokter menyatakan keadaanku telah sembuh total, ibu dan ayah masuk ke kamarku.  Mereka memberiku seuntai kalung dengan liontin mutiara yang sangat cantiknya.  Aku melihat diriku di cermin lebih spesial dan lebih cantik dari biasanya.  Mereka bilang itu hadiah kesembuhanku.  Aku tersenyum, kemudian memeluk mereka erat. 
Mereka mencium keningku dengan lembutnya, kemudian pergi menutup pintu kamarku, membiarkanku tidur.  Entah walaupun itu pukul 20:00, aku mengantuk luar biasa.  Aku bisa mendengar isak tangis ibu di kamar sebelah, sekedap apapun ruangan itu.  Aku pun menangis seraya menutup mataku.  Seakan tau, bahwa itu hari terakhirku membuka mata.
Keesokan paginya aku masih membuka mataku, di tempat yang sama sekali berbeda.  Sinarnya cerah secerah matahari pagi dan kursinya sangat nyaman senyaman rumput di pekarangan rumah.  Aku sudah pergi.  Namun kalung berliontin mutiara itu masih menyangkut di leherku.  Ketika aku mengingatnya kembali, oh ya orang tua ku adalah cenayang.