Rabu, 06 Oktober 2010

Tiga hari terakhir musim semi

              Tiga hari terakhir musim semi. Flora meratapi sisa - sisa musim semi tahun ini dengan tatapan manja dan malas. Tak ingin rasanya beranjak dari Musim semi yang membuat bunga - bunga bermekaran ini. Seolah menantikan musim panas setelah berakhirnya musim semi.                
             Bukan karena itu saja, melainkan sedari Musim Panas tahun lalu, Ia sudah sebatang kara didunia ini. Ibu yang paling dicintainya menjadi korban malpraktek. Beliau berpulang sesaat setelah meneguk sebotol kecil obat dari dokter. Dokter tersebut sudah diadili dan dikenai hukuman. Itu dapat diterimanya, namun kematian ibunya sama sekali tidak dapat dimaafkan. Apalagi beberapa saat kemudian ayah juga pergi. Kali ini ayah yang tidak berperikemanusiaan. Ayah menjadi terpidana kasus pembunuhan. Dan nyawa ayah diambil oleh algojo kejam milik pemerintah.                                                                                       
                 Memang benar - benar hebat rasanya menjadi anak tunggal, saat orang tua masih berada disamping kita. Namun saat mereka hanya terpampang di figura antik di rumah kita, apa kita bisa melawan takdir? Tak terasa setetes demi setetes air mata telah mengalir di pipi imut Flora. Senja itu Flora hanya bisa menatap matahari yang terbenam sendirian. "Flora, ibu suka sekali menatap matahari terbenam. Terasa hangat namun menenangkan."."Ayah juga. Seperti melihat bintang jatuh bersama keluarga." Bayangan Flora masih tertuju pada 3 hari terakhir musim semi setahun yang lalu. Mereka duduk berdampingan di teras. Ibu dan ayah mengapit Flora yang masih sangat lugu. Menatap matahari dikala terbenam, terbit dan berkumpul bersama di saat bahagia bersama.
                          Saat sendiri ini, Flora masih berada di teras rumahnya, memandang matahari terbenam sendirian, dengan air mata berlinang. "Flora, ada apa?" terdengar suara dari arah rumah. "Ibu, itukah ibu?" tanya Flora masih dengan linangan air dipipinya dan sesekali sesenggukan. Flora bangkit dan mencoba masuk ke rumahnya yang gelap itu. Tiba - tiba ia teringat hari terakhir ia melihat ibunya. "Ibuuuuuuuuuuuuuuu!!!!!!!!!" sentak Flora berteriak dan menangis lebih keras hingga duduk bersimpuh. "Flora, jangan menangis! ada apa? teringat ibu lagi ya?" terdengar suara seorang wanita sambil memeluk Flora. "Bu Riiiiiiiis, ibu! ibu, Bu Riiiiiiiis!" jawab Flora masih berteriak dan menangis. Wanita yang disebutnya bernama Ris itu segera membopong Flora kekamarnya dan menghapus linangan air matanya. "Bu Ris, ada ibu. Ibu, dan Ayah datang. Duduk sama Flora di teras. Lihat matahari...." kata Flora masih mengalirkan air matanya. " Sabarlah nak. Masih ada Bu Ris disini." Bu Ris yang mendengar cerita Flora ikut hanyut dalam suasana dan bermuara juga air matanya. Flora kembali menangis dan mengingat keluarganya. Dari situ, mereka berdua tertidur di kamar Flora hingga esoknya. Keesokan harinya mereka bangun siang menjelang.
                  Flora bangun, menyisir rambut panjang lurusnya yang disebut ibu "rambut putri". Mencuci mukanya dan mencoba keluar rumah. Tampak Bu Ris sedang menyiram semak berbunga di halaman rumah mereka. Kemudian Bu Ris menyapu jalan pribadi menuju rumah mereka. Kemudian Flora menghampiri Bu Ris. "Bu. Mau bantu." kata Flora. "Eh,Flora sudah bangun. Mau bantu? ini sapunya. Sudah sarapan belum? nanti gak kuat menyapu deh." kata Bu Ris. Flora menatap Bu Ris tajam namun lembut. Sejenak ia kembali merasakan adanya kehangatan dari Bu Ris seperti kehangatan ibu. Tiba - tiba Flora memeluk Bu Ris dan menjatuhkan sapu yang sedang digenggamnya. "Ibu, ibuku. Ibunya Flora." kata Flora. Bu Ris yang kaget memeluk Flora penuh kehangatan. Air matanya mengalir perlahan. 'Ibu, ini ibu baru Flora. Terima kasih ya, bu. Flora suka ibu baru Flora. Terima kasih, bu.' Suara Flora dalam hati untuk ibu. Flora memeluk Ibu barunya sambil terus menatap bunga kenanga, bunga kesukaan ibu.

Minggu, 26 September 2010

Bukan dengan Keahlian, tapi dengan Usaha


Lola adalah seorang siswa SD swasta kelas 5. Dikelasnya, ia pintar, baik, cantik pula. Ia adalah siswa yang paling dibanggakan guru, teman sekelasnya, dan sekolahnya. Namun, ada satu hal yang mengganjal dihatinya. Perasaan kecewa yang dipendamnya sejak kelas 3 SD.Karena apa Lola yang selalu dibanggakan begitu kecewa?
          Dikelas dan disekolahnya, mungkin memang Lola berhasil menjadi juara umum setiap tahunnya. Namun, diklub memasak yang diadakan setahun sekali, Lola selalu menjadi juara “pertama”dari bawah. Klub memasak selalu menolak Lola yang bernilai buruk ketika tes memasak. Maka itu, dibalik senyum manis jelita berambut panjang tersebut, terdapat wajah cemberut yang disimpan dalam – dalam. Ia pun tak pernah menyangka bahwa latihan memasak dengan neneknya bertahun – tahun tak membuahkan hasil.
          Putus asa telah mengisi sebagian hati Lola. Tapi, selalu ada ibu yang menyemangati Lola dan menguras sedikit rasa itu di hati Lola.”Yang dapat menentukan hidupmu di masa depan hanya usaha yang keras, bukan keahlian atau pun kecerdasan”Begitulah pesan ibu untuk menyemangati Lola. Namun, sepertinya Lola tak pernah mengerti arti kalimat tersebut. Ia terlalu sibuk memikirkan dengan siapa lagi ia harus belajar memasak. Tetapi,tanpa disadari, bakat memasak yang telah dilatih bertahun – tahun oleh Lola, menjadi berguna. Ia bisa mewakilkan sekolahnya pada lomba memasak tingkat kota.Dan berhasil menjuarainya.
          Ibu pun menyadari hal itu.”La, apa kamu tahu.Kamu tidak perlu lagi ikut tes masuk klub memasak itu.”kata ibu. “Benar bu. Jadi, aku boleh ke klub memasak tanpa tes, bu?”Tanya Lola tak percaya. Ibu hanya menggeleng.”Ibu akan beri tahu jawabannya, besok saat kamu pulang sekolah.”Jawab Ibu seraya tersenyum penuh rahasia.
Keesokan harinya……
          Karena penasaran, sepanjang  pelajaran di sekolah, Lola selalu memikirkan jawaban yang akan diberikan oleh ibu. ”Lola………jangan melamun!!!perhatikan pelajarannya!!!”Kata Bu Carrie, guru tergalak di sekolahnya. Kemarahan Bu Carrie sejenak membangunkan Lola dari lamunan. Namun, setelah istirahat, ia kembali melamun penasaran.Kring,kring,kring, bel pulang sekolah telah berdering. Para siswa berhamburan keluar kelas. Tak terkecuali Lola.
          Sesampainya di rumah, Ia langsung menanyakan ibu jawaban pertanyaan kemarin. Sambil mendesak, ia juga menarik – narik celemek ibu yang sedang dipakai.”Iya, iya.Nanti ibu kasi tau.Sekarang Lola ganti baju dulu ya.Ibu mau buat makan siang dulu.”Kata ibu menenangkan. Dengan terpaksa, Lola akhirnya ganti baju dan duduk tenang di meja makan. “Jadi, maksud ibu kamu gak perlu masuk klub memasak itu………”kata ibu membuat putrinya semakin penasaran.Lola mendengarkan jawaban ibu dengan seksama. “adalah, karena kamu sudah berlatih keras selama 3 tahun untuk tes masuk klub tersebut.Jadi, kamu gak perlu masuk dong.Kan kamu udah belajar banyak 3 tahun ini.” Kata ibu mengejutkan. Sejenak, Lola berpikir. “oh iya ya…aku kan udah berlatih memasak 3 tahun ini.gak perlu dong aku latihan lagi.ada juga ngabisin duit ibu.mendingan buat bayar sekolah ajah.” Kata Lola dalam hati. “gimana, masih mau ikut?” Tanya mama mengagetkan lamunan Lola. Lola hanya menggeleng dan begitulah. Lola hanya belajar memasak dari ibunya, neneknya, dan dirinya sendiri!