Minggu, 13 Desember 2015

Mother's Tears

Dunia sudah berubah.  Sejak pemerintahan diambil alih oleh para robot, manusia hanya bisa menggunakan robot sebagai alat untuk kehidupan.  Robot mengambil alih dunia, dan mengatur kehidupan kita semua.  Kami semua bergerak tanpa emosi, bahkan hingga kemarin, hari dimana aku mulai mengetik cerita ini.  Robot-robot itu berkata, emosi adalah yang menyebabkan kehancuran dunia, mulai dari perang dunia 1 hingga zaman terorisme.  Pada tubuh setiap dari kami, sebuah chip ditanam hanya untuk mengawasi emosi kami.  Setiap kali emosi diluapkan, semakin berkurang pula usia kami.  Jadi kami semua hanya menjalani hidup tanpa ada luapan perasaan.  Termasuk aku dan ibuku.
Aku baru saja terlahir di dunia ini 15 tahun yang lalu, tidak melalui rahim ibuku sendiri.  Ibu berkata, sejak usia kandungan 5 bulan, ia memindahkan tubuhku ke dalam tabung agar perkembangannya dapat terkontrol.  Rupanya hingga usia kandungannya 9 bulan, ibu tetap meletakkan ku disitu.  Ibu berkata ini teknologi terbaru dari robot, untuk menurunkan risiko kematian ibu dan aku, ketika aku dilahirkan.  Namun setelahnya ibu berkata tidak pernah menyusui diriku.  Aku dibiarkan minum dari selang kecil di pinggir kasur.  Ibu bilang ini untuk memudahkannya mengasuhku ketika ia bekerja.  Jadi ia juga meletakkan pengganti popok otomatis di dalam boks bayiku.  Aku merasa senang mengetahui fakta bahwa ibu mengurusku dengan baik, namun aku merasa ganjil.
Beberapa hari yang lalu aku pergi ke perpustakaan umum tua di desa.  Aku menemukan video-video arsip lama di dalamnya.  Aku mencoba memutar beberapa video namun sepertinya rusak, atau robot komputer ini menolak untuk menampilkannya.  Namun aku tetap mencoba memutar video ini, yang dengan menarik mencantumkan judul “Kehidupan pada Zaman Teknologi Awal”.  Akhirnya videonya dapat ku lihat, dengan sedikit perlakuan kasar pada komputer perpustakaan.
            Adegan pertama dari video ini menampilkan bagaimana kehidupan berjalan di kota-kota besar dunia.  New York, Tokyo, London dan lainnya.  Kerumunan orang berjalan menyeberangi jalanan dengan santainya, semua orang terlihat sibuk.  Adegan selanjutnya adalah bagaimana mereka bekerja di kantor, mengangkat telpon, mengetik dan sebagainya.  Dilanjutkan dengan adegan pulang kantor, hingga sampai ke rumah.  Di rumah yang mereka temukan adalah keluarga, yang menyambut hangat dengan pelukan dan senyuman.  Ah itu namanya senyuman yang sebenarnya.  Senyum yang aku lihat selama ini hanya senyum dari robot kepada manusia, tak pernah sebaliknya. Adegan ini terlihat mengesankan.  Aku menghentikan video ini untuk sementara.  Keluarga ini tengah tertawa dan tersenyum.  Apa ini yang namanya bahagia? 
            Aku menutup video ini, kemudian keluar dari perpustakaan.  Ketika tiba di lift, aku melihat bayanganku sendiri dalam cermin di dalam lift.  Aku menekan tombol 1, dari lantai 5.  Aku masih terpikir adegan tadi dimana semua anggota keluarga terlihat bahagia.  Aku kemudian mengalahkan rasa takutku pada robot dan mulai tersenyum.  Awalnya aku hanya menarik ujung bibirku dengan jari, namun kemudian senyum itu bertahan tanpa bantuan jari.  Aku senyum dan senyum, menikmati rasanya senyum itu.  Awalnya aneh, namun lama-lama aku jadi merasa terbebaskan.  
            Di rumah, aku bercerita pada mama soal pengalamanku barusan.  Aku sedang bercerita pada ibu tentang pengalamanku mencoba tersenyum.
"Berhenti. Apa kamu tak tau bahaya jika kamu menunjukkan emosi mu?" Tanya ibu.  Aku tak menjawab, hanya memalingkan wajahku.
"Kamu tau kan, menunjukkan emosi bisa mengantarkanmu pada kematian?" Tanya ibu lagi.  Aku tak menjawab lagi.
"SR15.  Aku tak perlu membentakmu agar kamu menjawabku kan?" Ibu mulai menaikkan nada suaranya
"Ibu panggillah aku dengan nama pemberianmu. "
"Tidak sebelum kau jawab aku."
"Ibu, aku hanya ingin terbebas dari dunia robot ini.  Aku ingin tersenyum dan tertawa, menangis dan marah, tidak seperti ini.  Aku harus menahan segala emosiku, aku bahkan ingin memelukmu, mencium pipimu yang hangat, tersenyum tiap kali kau pulang ke rumah dan lainnya.  That's all i want, mom."
Plakk.  Ibu menampar pipiku.  Aku terkejut kemudian mengelus pipiku.  Ibu tak pernah menamparku sama sekali.  Aku tersentak kemudian melihatnya menangis sambil bersimpuh.  Ibu menangis!
"Ibu. . ."
"Maafkan ibu, Sarah.  Ibu tak bisa membawa kita keluar dari kekejaman ini." 
"Tidak apa, ibu.  Aku baik baik saja."
"Tidak, kau pasti tersiksa dengan semua ini".  Aku mulai menangis, air mataku keluar.
"Kamu jangan menangis, Sarah.  Ibu tidak mau kamu pergi sekarang."
"Ibu, aku tidak peduli usia ku sendiri, aku ingin meluapkan emosi ini bersama ibu."                 
     Kemudian kami berpelukan, sambil terus menangis menumpahkan emosi yang bertahun-tahun kami pendam.  Selanjutnya aku dan ibu tertidur di sofa, hingga esok harinya.  Hari ini.  Dimana aku menyelesaikan cerita ini.  Pagi ini aku melihat ambulans dari jendela kamarku.  Entahlah, apabila aku dan ibu mati hari ini, setidaknya kami sempat merasakan indah meluapkan emosi.  Ah mungkin hanya ini yang bisa aku ceritakan.  Ibu telah memanggilku untuk menonton satu film komedi yang pernah kami tonton tanpa tawa, berarti kali ini dengan senyum dan tawa haha.  


Salam Sayang dari cicitmu di masa depan,




Sarah (Kode percobaan : SR15)


Rabu, 17 Juni 2015

Cenayang


               Halo, namaku Irene.  Aku adalah anak satu-satunya dan kesayangan orang tua ku sampai adikku, Niken terlahir ke dunia ini.  Aku tidak merasa bahagia ataupun kecewa.  Segalanya ku jalankan biasasaja.  Sampai akhirnya aku mengetahui fakta tentang orang tua ku.
            Orang tua ku adalah cenayang.  Profesi yang menjadi andalan mereka dalam pekerjaan keduanya sebagai aktuaris di perusahaan asuransi besar.  Kamu mungkin tidak dapat mempercayainya tapi aku yakin, ini bukan mitos belaka.  Apa yang dikatakan oleh keluarga besarku semua ada benarnya.  Awalnya ayah hanya menebak hasil ujian matematika pertamaku ketika kelas satu SD namun akhir-akhir ini ketika aku mulai menginjak lantai kampus yang dingin, ayah mulai melarangku mengikuti ekstrakurikuler kampus.  Apapun bentuknya.
            Begitu pula dengan ibu, dulu ia hanya menenangkan curhatku yang tidak sepenuhnya lengkap, namun itu menyelesaikan sebagian besar masalahku.  Sekarang, ibu tidak lagi menebak semudah itu.  Ia mulai mengontrol pola makanku, membawakan aku bekal, air minum dan sebagainya.  Aku begitu curiga nya dengan ibu sampai-sampai ibu begitu kesalnya melihatku jalan bersama teman-teman. 
            Sejak beberapa bulan yang lalu, aku divonis mengidap asma.  Dokter sendiri yang bilang padaku untuk menjaga kesehatanku.  Kemudian baru aku menyadari.  Ayah dan ibu melarangku karena mengetahui kondisi tubuhku yang rentan.
            Berat badan ku turun.  Jauh sejak sebelum aku mulai asma.  Tidak hanya itu, tanganku mengecil dan pipi kiri dan kanan ku mengecil.  Aku mulai mudah terbatuk-batuk.  Sampai akhirnya pada suatu hari ketika ibu kedatangan teman-teman sekantornya dan sedang membacakan garis tangan kepada mereka, aku terbatuk keras di kamar.  Ibu segera berlari ke kamarku.  Hanya tersisa bercak darah di kasurku.  Aku bersembunyi sambil menangis dalam selimut.
            Beberapa bulan setelah aku divonis TBC dan Astma sekaligus, aku mulai dirawat di Rumah Sakit.  Awalnya semua begitu sepi.  Ayah bekerja di kantornya sampai larut malam, pagi buta ia baru menjengukku dan mencium keningku.  Ibu juga begitu.  Siang ia datang, membawakanku pakaian dan malam ia akan mengurus Niken di rumah.  Aku merasa begitu kesepian.  Namun pada minggu ketiga aku dirawat, tiba-tiba saja aku dipindahkan ke ruang VIP beserta keluargaku menginap di kamar sebelah.  Mereka membawa laptopku dan bahkan membawa kartu UNO untuk ku mainkan. Setelah itu frekuensi aku kesepian berkurang, hingga dapat kuhitung jari.
            Malam terakhir ku di rumah sakit, tepat setelah dokter menyatakan keadaanku telah sembuh total, ibu dan ayah masuk ke kamarku.  Mereka memberiku seuntai kalung dengan liontin mutiara yang sangat cantiknya.  Aku melihat diriku di cermin lebih spesial dan lebih cantik dari biasanya.  Mereka bilang itu hadiah kesembuhanku.  Aku tersenyum, kemudian memeluk mereka erat. 
Mereka mencium keningku dengan lembutnya, kemudian pergi menutup pintu kamarku, membiarkanku tidur.  Entah walaupun itu pukul 20:00, aku mengantuk luar biasa.  Aku bisa mendengar isak tangis ibu di kamar sebelah, sekedap apapun ruangan itu.  Aku pun menangis seraya menutup mataku.  Seakan tau, bahwa itu hari terakhirku membuka mata.
Keesokan paginya aku masih membuka mataku, di tempat yang sama sekali berbeda.  Sinarnya cerah secerah matahari pagi dan kursinya sangat nyaman senyaman rumput di pekarangan rumah.  Aku sudah pergi.  Namun kalung berliontin mutiara itu masih menyangkut di leherku.  Ketika aku mengingatnya kembali, oh ya orang tua ku adalah cenayang.

            

Senin, 23 Maret 2015

Teruntuk Pelita


Wahai pelita hidupku
Angin malam takkan mampu
Menyeruak kisah di balik tabirmu
Namun aku yakin cinta itu masih menyala
Bergoyang-goyang dihempas angin

Wahai pelita hidupku
Demi semesta yang bertabur dosa
Kau rela menyiksa diri
Menimang batu dalam pangkuan

Wahai pelita hidupku
Sudah getas pula hatimu
Terkoyak koyak dicabik waktu
Menyongsong pertolongan dari atas

Pelita Hidupku
Aku akan datang
Menjadi pelita mu juga
Pelita yang kau songsong di depan sana



Teruntuk Bunda, Happy 40th birthday!